44. Elzev Coffee

4K 829 338
                                    

Disapu dulu karena lapak ini berdebu :)

Tapi panjaaaaang loh hehe

🏡🏡

"Nggak baik bayangin hal yang nggak kejadian, La."

"Tapi kita kan harus persiapan, Lan."

"Apa yang bikin aku difitnah? Aku nggak ngelakuin, terus nggak ada bukti yang kuat."

"Ya karena nggak ada bukti dan kamu nggak ngelakuin, itu namanya fitnah. Kalo ada bukti dan beneran, namanya jadi fakta!"

"Aku tau maksud kamu. Kalo difitnah, aku nggak  mungkin diem."

"Walaupun itu harus buka aib orang?"

"Kalo bisa selesein tanpa buka aib orang, kenapa nggak?"

"Nala, ayok turun."

Panggilan itu menyentak Nala dari lamunan. Ia mengerjap dan lihat Bagus sudah membukakan pintu mobil untuknya. Setelah menghela napas pelan, ia keluar dari mobil.

"Masih capek ya?" tanya Anin karena merasakan kalau Nala jadi pendiam sepanjang perjalanan tadi.

"Udah nggak kok, Mbak." Nala  menjawab dengan senyum. Meski baru pagi menjelang siang tadi pulang off-road, tapi capeknya sudah mereda. Cuma masih kepikiran ucapan Lano waktu makan di rumah Frisya tadi.

Nala bukan tidak percaya Lano bisa menyelesaikannya. Tapi takut sekitar jadi merendahkan Lano. Ia agak khawatir Vira nekat membawa fitnah ke publik. Dulu di awal juga Vira mendongeng padanya seolah Lano telah ambil banyak hal berharga dari cewek itu.

Nala bahkan sempat termakan omongan, sebelum dengar sendiri cerita dari Salsa kalau bukan Lano pelakunya. Yang ia takutkan, mungkin saja sekitar akan memercayai ucapan Vira daripada pembelaan Lano nantinya.

"Untung udah reservasi. Rame banget," gumam Anin yang berdiri di kiri Bagus.

Kembali Nala fokuskan ke depan. Mereka sampai di restoran Jepang. Ia ikut berjalan di samping kanan kakaknya yang kini tidak keberatan meski ada dua perempuan di kanan kirinya.

"Aku pesen private room," kata Bagus.

"Kamu niat banget. Kita makan cuma berenam udah pesen private room." Anin geleng-geleng kepala.

"Mas Bagus terlalu introvert, Mbak." Nala menanggapi.

Anin tertawa pelan. "Iya masmu emang kayak gitu, La."

Merasa diserang dua perempuan di kanan kiri, Bagus mengalihkan pembicaraan. "Kamu udah hubungi Frisya, Nin?"

Anin mengangguk. "Udah di jalan katanya. Bentar lagi sampe."

Mereka kembali melangkah. Hampir sampai di pintu, sebuah panggilan membuat ketiganya menoleh. Nama Nala yang dipanggil. Siapa lagi yang melakukannya kalau bukan Lano, yang kini baru turun dari mobil dengan ekspresi senang tidak karuan.

Bahkan cowok itu terlihat buru-buru mau mendekat. Langkah-langkahnya lebih cepat meski baru beberapa meter. Dengan balutan jeans serta sweatshirt abu-abu dan tidak lupa beanie hat di kepala, Lano menyunggingkan senyum lebar. Kedua matanya bahkan memancar cerah seolah menemukan apa yang dicari selama ini.

Hal itu yang membuat Nala gemas rasanya. Hanya dengan lihat bagaimana Lano tersenyum bahagia padanya sudah membuat hatinya terasa lebih baik. Bahkan lebih dari itu, ia menyadari sempat menahan napas beberapa saat.

Padahal sikap Lano sudah biasa begitu, kenapa Nala belum terbiasa dengan debaran kuat yang kerap muncul di saat seperti ini?

Pesona Lano terkadang memang membuatnya tidak bisa mengutarakan, bahkan mendeskripsikan lebih detailnya. Karena ia sendiri juga tidak tahu tepat di bagian mana Lano bisa terlihat begitu menarik.

ELANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang