54. Rumah

5.9K 985 354
                                    

Udah vote belom, zeyeng?

Kenang-kenangan menjelang perpisahan, yuk tinggalkan komen walau cuma 1 biji 🤌🏻

Maafkan typo-nya lagi. Belum sempat edit, keburu siang.

Akhir-akhir ini gantistatus kebanyakan intro. Happy reading aja🤸🏼‍♂️

🏡🏡

Lagi-lagi Nala mengulurkan tangan untuk menyuapkan keripik kentang ke mulut Lano. Cowok itu fokus banget lihatin cahaya bulan yang tepat di atas mereka, dengan kedua lengan disilangkan untuk menyangga belakang kepala. Salah satu kakinya tertekuk sedangkan satu lainnya dibiarkan terulur. Mereka bersandar di ramp yang tidak terlalu curam, membuat tubuhnya setengah berbaring.

Nala menoleh ke kirinya. Lano berbaring tepat di sampingnya. Ia tidak akan berhenti mengagumi manusia satu ini. Selain rupa yang tidak bisa ditolak pesonanya, juga karena kebaikan hati cowok itu. Perpaduan yang bagi Nala sangat sempurna.

Lano telah melalui banyak kesakitan tapi tumbuh menjadi seseorang yang teramat baik seperti apa yang Nala kenal sekarang, sudah pasti prosesnya begitu panjang dan melelahkan. Nala tidak akan berhenti mengagumi satu hal itu dari Lano. Bonusnya, tentu saja ganteng tengilnya itu sering bikin Nala geregetan dan gemas rasanya.

Seperti saat ini. Saat Lano menoleh padanya dan membuka mulutnya seolah minta disuapi lagi, membuat Nala tersenyum. Ia merogoh bungkus snack di tangannya, yang ternyata hanya sisa remahan saja.

"Abis, Lan. Aku ambil lagi."

Lano menahan tangan Nala agar tidak beranjak. "Nanti aja."

Nala nurut dan mengangguk. Ia hanya mengambil tisu di sampingnya untuk membersihkan jari-jari yang terkena bumbu tadi.

"Aku nggak dilap juga?" tanya Lano, sedari tadi memperhatikan gerakan Nala.

"Dari awal makan, aku nyuapin kamu, Lan. Jadi tanganmu nggak kotor sama sekali."

"Bibirku."

Nala mengernyit. Di remang itu ia masih bisa lihat kalau bibir Lano dan sekitar mulutnya bahkan bersih. Tidak ada bumbu-bumbu yang belepotan.

"Kelamaan kamu, La," kata Lano, satu tangannya terulur menyentuh tengkuk Nala sebelum didekatkan padanya. Bibir mereka sudah bersentuhan dan Lano menyesapnya satu kali sebelum dilepas. Ia tambahkan lagi kecupan di dagu Nala sekilas.

Senyum dengan kedipan satu mata dari Lano membuat pipi Nala terasa menghangat, bahkan ia bisa menebak sendiri pasti wajahnya memerah sekarang. Lano itu seringkali membuat jantungnya tidak aman.

"Sini, baring lagi." Lano menepuk tempat di sampingnya, meminta Nala berbaring seperti semula karena selepas ciuman singkat tadi cewek itu bangkit duduk.

Lama menetralkan detak jantungnya yang sempat tidak bisa dikondisikan, Nala akhirnya kembali ke posisi semula. Ia berbaring di samping Lano yang kini mengeluarkan ponsel.

"Bulannya bagus banget," gumam Lano, mengambil satu foto dari ponselnya.

"Gini, Lan. Ulangi. Biar lebih estetik," saran Nala. Ia ikut pose kaki Lano, lalu mengarahkan ponsel Lano dari sisi yang lebih terlihat seluruhnya. Dua kaki mereka, pemandangan kanan kiri, lampu penerangan, dan bulan.

"Iya, jadi lebih bagus," kekeh Lano. "Aku mana ngerti yang estetik-estetik gitu, La."

Nala lihat sendiri Lano unggah di story instagram, lalu nama Nala di-tag pula di bagian bawah. Melihat itu membuat Nala mengeluarkan ponsel, tersenyum tentu saja. Lano tidak pernah ragu untuk membagi momen mereka.

ELANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang