45. Usaha

3.4K 856 351
                                    

Yuhuuu, datang lagi. Ramein kuy!

🏡🏡

"Saya hubungi kakak kamu."

"Iya. Silakan, Bu."

"Kakak kamu yang namanya Frisya."

"Silakan, Bu." Lano masih menjawab tenang. Bukan ia dipanggil ke ruang BK. Tapi setelah kejadian adu pukul tadi, ia masuk sendiri ke ruang BK dan menceritakan kesalahannya.

Bu Beni yang mendengar jawaban Lano justru mengernyit. Seingatnya, Lano tidak sependiam ini. Pasti akan menjawab dengan celotehan bercanda, atau justru berjanji tidak mengulangi lagi saat ketakutan jika nama Frisya sudah disebut.

Tapi sekarang berbeda. Siswa yang duduk dengan tatapan datar, darah yang mengering di sudut bibir, serta lengan yang memerah terkena darah itu terkesan tidak peduli pada hukuman jenis apa pun.

"Udah mau lulus, kenapa berulah dengan berantem begitu, Lano?"

"Arif kasar sama cewek, Bu."

"Cewek kamu," ralat Bu Beni.

Lano tidak menyangkal.

Melihat respons Lano, Bu Beni menghela napasnya pelan. "Ya sudah, kamu ke UKS dulu. Arif juga lagi diobatin di sana. Ibu temenin kalian bicara, harus baikan."

"Saya akan minta maaf. Tapi saya nggak janji bisa baikan."

Seperti mengerti maksudnya, Bu Beni akhirnya mengangguk dan meminta Lano mengikutinya ke ruang UKS yang berada di lantai yang sama. Keduanya sampai dan segera melihat Arif terbaring, terlihat kesakitan.

Mungkin mendengar langkah kaki, Arif menoleh. Kesan pertama yang ditunjukkan adalah menghindar seolah tidak mau menghadapi Lano atas pukulan bertubi-tubi yang menyebabkannya berbaring tidak berdaya.

"Arif udah mau dijemput?" tanya Bu Beni memulai percakapan.

Arif menggeleng. "Belum, Bu. Nanti saya pulang sendiri."

Bu Beni tau, memang harus diselesaikan di sekolah dulu sebelum mengabari kedua orang tua. Ini memang tugasnya. Jika nanti sulit diarahkan, barulah meminta kedua wali dari siswa saling dipertemukan.

"Kayaknya saya selesein di luar aja, Bu Beni." Suara Lano terdengar, tapi tatapannya terarah lurus ke Arif.

"Selesaikan dengan berantem lagi?" Bu Beni berusaha menebak pikiran anak-anak muda itu.

Tapi justru Lano menggeleng. "Saya nggak niat berantem lagi. Tapi kalo Arif mau—"

Decakan Arif membuat ucapan Lano tidak berlanjut, karena lebih dulu diinterupsi. "Nggak sekarang, Lan. Lo bisa matiin gue."

"Gue minta maaf." Lano harap kerendahan hatinya meminta maaf duluan bisa membuat Arif percaya kalau ia benar-benar ingin menyelesaikan semua dengan benar.

Arif menurunkan lengan yang tadinya bersandar di dahi, lalu kernyitan muncul. "Lo nggak salah ngomong?"

Lano menggeleng. "Lo mau balik? Gue anter sampe rumah lo sebelum tulang-tulang lo rontok semua."

Arif meringis. "Gila."

Tidak memedulikan ucapan Arif, Lano segera menoleh ke Bu Beni. "Apa saya boleh izin pulang, Bu?" Karena setahunya sudah tidak ada pelajaran apa pun.

Tidak sekali dua kali Bu Beni menghadapi Lano. Dari awal datang sendiri tadi dengan cerita yang sebenarnya dan tekad untuk meminta maaf membuat guru itu yakin kalau Lano tipe anak bertanggung jawab dengan perkataannya sendiri.

Jadi Bu Beni mengiyakan tanpa membebankan hukuman yang memberatkan. Keduanya terlihat cukup dewasa untuk menyelesaikan masalah itu.

"Boleh. Antar Arif pakai apa?"

ELANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang