10. Katanya Murahan

3.6K 840 278
                                    

Pagi.

🏡🏡

Suara tamparan itu sanggup membuat sekelas mendadak hening. Lano yang sadar lebih dulu, mengerjap cepat dan berbalik saat menyadari Nala berjalan cepat menuju tangga sambil memegangi lengannya yang terluka.

Namun Lano harus menyelesaikan ini dulu. Nala yang emosi entah karena apa seperti itu sudah pasti susah ditenangkan. Jadi Lano membereskan hal lain, satu-satu.

"Nggak apa-apa, Lan? Tu cewek berani amat." Arif sudah menepuk bahu Lano.

"Nggak apa-apa, cuma tamparan." Lano mengibas tangannya, seolah itu bukan apa-apa.

"Cuma tamparan katanya, tapi pipi sampe merah. Mana suara tamparannya kenceng sampe bikin lo nge-lag bentar tadi." Arif tertawa kali ini.

Lano mengangkat tangan ke pipi bekas tamparan. Agak panas dikit, tapi masih aman. Dipukul sampai babak belur sama ayahnya Vira dua kali juga pernah dan ia bisa menahan sampai seminggu baru sembuh, apa lagi cuma tamparan cewek nggak tegaan macam Nala? Dua detik juga hilang sakitnya.

"Nggak usah syok kenapa." Lano geleng-geleng kepala lihat teman-temannya mendadak membisu. Tatapnya terarah ke papan tulis dan mengangguk. "Oh, jadi Nala putus?" tanyanya ke sekitar.

Lambat laun suasana mencair karena tahu Lano baik-baik saja.

"Seneng kan lo, Lan?"

Lano menoleh ke teman cowoknya yang teriak tadi. Ia mendengus geli. "Kenapa bisa nebak gue seneng Nala putus?"

"Lo keliatan ngebet sama tu cewek. Mana pernah bilang lo nungguin dia putus."

Lano menjentikkan jari mendengar itu. "Pinter lo. Gue emang nungguin dia putus. Tapi nggak butuh perayaan kayak gini. Kalian terlalu baik sama gue." Nada suara Lano terdengar seperti sindiran, membuat sekitar jadi makin bingung.

"Bukannya lo yang nyebarin berita putusnya Nala?"

"Gue aja baru tau." Lano berdecak seolah menyesal. Padahal ia memang sudah tahu saat mengintip pesan dari cowoknya Nala tadi. Tapi ia pikir tidak beneran putus dan hanya ucapan labil remaja. Lihat Nala tadi ia jadi yakin kalau mereka benar putus.

"Terus siapa yang nyuruh nulis tadi?" Pertanyaan dari teman Lano membuat sekitar jadi ikut bingung.

"Anggap aja gue." Lano menjawab santai, daripada repot. "Nggak usah kalian pikir. Nambah beban pikiran aja," saran Lano.

Sebenarnya mereka semua harusnya tahu kata anggap aja yang Lano lontarkan tadi sudah berarti bahwa memang bukan Lano pelakunya, tapi di antara mereka tidak ada yang berani tanya lebih lanjut.

Sedangkan Lano berjalan ke arah Winda, Hika, dan Maya. Ia sedikit berbisik saat mengucapkannya. "Samperin Nala, gih. Sakit dia."

"Apa? Sakit?" Winda yang terkejut lebih dulu.

Lano mengangguk, lalu makin merendahkan tubuhnya agar hanya tiga orang itu yang mendengar. "Masih nangis juga. Cegah dia biar nggak balik dulu. Takut kenapa-kenapa, soalnya lagi kacau banget pasti."

"Kenapa nggak lo?" balas Hika, tatapannya sedikit penasaran dan kecewa menyadari Lano sudah mempermalukan Nala segininya. "Malu ya udah bikin kayak gini?"

"Ka ...." Maya menahan ucapan Hika lebih lanjut lagi. "Mending kita liat keadaan Nala dulu."

"Nah, dengerin kata temen lo bilang," saran Lano.

"Harusnya lo juga ikut tanggung jawab. Nala keliatan marah sama lo," saran Winda.

"Justru karena dia marah banget, gue entaran aja. Kalo gue dibunuh gimana?"

ELANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang