7. Cokelat

3.5K 774 362
                                    

Mana suaranya? 🥳🥳🥳

🏡🏡

"Cokelat cokelat!"

"Banyak amat punya siapa ini?"

"Punya Lano kayaknya."

"Masa? Lan, ini punya lo?"

Lano masih berdiri di pembatas pintu, bersandar menghadap arah tangga untuk menunggu seseorang. Tapi mendengar temannya memanggil, ia menoleh. "Apa?"

"Punya lo kan?"

"Bukan."

"Terus?"

"Punya Nala," jawab Lano singkat, lalu matanya kembali terarah ke tangga. Ia berdecak kesal. Sudah mau jam masuk kenapa Nala belum datang?

"Oh, punya Nala. Kirain buat Vira."

Kenapa setiap perlakuan Lano apa pun itu disangkutpautkan dengan Vira? Kadang Lano jengah sendiri. Mulut teman-temannya asal bicara tanpa tahu efek dari setiap candaan itu. Lano tidak mau membuat Vira makin berharap dan susah lupa—karena itu yang Vira katakan padanya.

Masalah hati Lano sendiri, ia sudah tidak menganggap ada hubungan apa pun di antara keduanya. Jadi Lano berharap teman-temannya berhenti menyangkutpautkan keduanya lagi.

"Buat Nala beneran kayaknya. Kemarin Lano bilang mau bawain cokelat sekarung kan?"

"Tumbenan. Vir, dulu waktu sama lo, Lano emang sampe kayak gini?"

Lano kembali menahan kekesalannya. Ia bisa tebak Vira pasti malah jadi sakit hati dan merasa paling disakiti. Dengan itu pasti anggota gengnya yang menyerang Nala pada akhirnya.

Ia tahu yang dilakukannya pada Nala ini juga salah, tapi seberusaha apa pun ia menjauhi Nala, ia yakin sekali Vira cs tetap akan menyerang. Jadi ia memang harus memastikan Nala baik-baik saja. Lano cowok yang tidak suka ditantang atau diancam. Kalau Vira ngelunjak, ia akan semakin maju.

Lagi pula tidak lama nanti mereka akan pisah sendiri-sendiri. Lano sudah mengusahakan agar tidak sekampus atau bahkan satu jurusan dengan Vira maupun Nala. Biar cerita di sekolah tidak ia teruskan sampai sejauh itu.

Untuk kesekian kali, Lano menghela napasnya sedikit kasar. Mendapati tidak ada tanda-tanda siswa datang padahal sekelasnya sudah lengkap semua. Tinggal Nala.

Lano berbalik dan memutuskan bersandar di sisi yang berbeda. Kini membelakangi arah tangga dan saat itu juga terkejut. Astaga, selama itu ia nunggu, Nala malah ada di depan gudang di ujung lorong? Ngapain aja cewek itu?

Pelan-pelan Lano mendekat, tidak mau menginterupsi saat sadar ternyata Nala sedang berteleponan. Suara cewek itu tidak cukup keras tapi ia masih bisa mendengar saat makin mendekat di belakangnya.

Nala mengeluarkan tawa kecil, seolah seseorang di luar sana berhasil membuat bahagia. Lano sempat terkejut sebentar. Belum lama mengenal Nala, tentu saja ia tidak pernah dengar nada bicara Nala yang berbeda begitu. Halus dan penuh kehati-hatian. Mungkin takut menyakiti.

Tapi saat satu kalimat terlontar, Lano mengernyit heran.

"Jadi ada acara dadakan? Rav, kamu kan udah pesan tiket ke sini."

Lano mengangguk-anguk. Ia mengerti sekarang. Pasti pacarnya Nala.

"Cuma sebentar? Tetep jadi ke sini kan? Reschedule? Ya udah atur aja nanti aku transfer lagi buat pesen tiket kalo yang sebelumnya nggak bisa."

Astaga, cowok macam apa yang minta dibayarin ceweknya? Lano baru mendapati manusia begitu. Kata lagi membuat Lano sadar kalau itu pasti terjadi berkali-kali.

ELANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang