Sabar, masih proses🥹
🏡🏡
"Tante Nala emangnya udah sembuh?"
Nala mendapati keponakannya menyusul di karpet dengan membawa buku. Ia meraih tangan bocah kecil itu agar duduk di sampingnya yang sedang belajar. Ada meja di hadapan mereka. Sengaja ia belajar di taman buatan depan kolam. Pemandangannya bagus untuk menjernihkan pikiran sekalian belajar.
"Udah sembuh kok, Qi," jawab Nala.
"Sualanya kok masih gitu, Te. Om Bagus loh kalo sakit mukanya bilu."
Nala mengernyit. Mukanya biru? Ditonjok maksudnya?
"Telus maemnya bubul. Tante Nala kalo sakit maemnya apa?"
"Mau makan sup. Tadi mamanya Qia bilang lagi masak sup kan?"
Qia seperti mengingat. Ia mendongak menatap Nala. "Iya, sup iga olang."
"Iga sapi, Qia."
"Kata Papa iga olang."
"Papa cuma bercanda itu." Nala tertawa, tapi lalu serak di tenggorokan membuatnya terbatuk pelan. Batuk pilek begini memang menyiksa.
Nala tidak yakin sebabnya, tapi sejak tamparan Vira yang nyerinya tidak main-main itu, sorenya badan Nala terasa panas. Ia demam meski tidak terlalu parah karena Bagus membawanya segera ke rumah sakit.
"Qia mau ambil minum buat Tante dulu ya. Batuk kasian."
"Udah ada nih. Tante udah bawa," tunjuk Nala ke botol minum di sampingnya. "Qia belajar nulis aja."
Qia akhirnya nurut dan mencoret-coret kertas kosong di depannya, seolah menirukan apa yang Nala lakukan.
Setelah meneguk minum, Nala kembali ke bukunya. Sudah sejak pagi sekali ia di sana tapi tidak peduli. Selama apa pun itu asalkan bisa membuat hatinya lebih baik.
"Nala, Qia, masuk dulu. Udah dari jam berapa di situ?"
Suara Bagus terdengar dari arah belakang. Memang keduanya duduk membelakangi pelataran rumah.
"Qia balu sampe, Om," kata Qia.
"Aku ...." Nala berpikir sebentar. "Dari jam 6."
Bagus berjalan hingga ada di hadapan mereka, mendudukkan diri di tempat duduk yang terbuat dari marmer. "Masuk. Udah hampir panas."
"Jam berapa, Mas?"
Melirik jam di pergelangan tangan, Bagus menjawab. "Jam 9."
"Baru jam 9, masih pagi," gumam Nala. "Belum panas. Ini ada atapnya juga. Nggak apa-apa nanti aja, Mas."
Terdengar helaan napas Bagus atas keras kepalanya Nala. "Dari pagi banget, nggak pake jaket. Duduk di lantai. Kamu mau sakit lagi?"
Nala mendongak menatap Bagus. "Udah sembuh," jawabnya jujur. Memang begitu kenyataannya. Sakitnya tidak lama. Demam tinggi sehari penuh, setelahnya ia merasa baik-baik saja meski lemas luar biasa.
"Apalagi kamu kalo sakit itu bikin double khawatir. Ditanyain mana yang sakit, nggak mau jawab. Dieeeem terus kamu kalo sakit. Parah banget diemnya. Tiga hari nggak ngomong sama sekali."
"Om Bagus juga dieeeeeem telus," kata Qia yang sedari tadi mendengarkan keduanya meski daya cernanya tidak segera menangkap cepat apa maksud percakapan itu.
Bagus akhirnya terkekeh dengar Qia bicara begitu. "Maksud Om, Tante Nala kalo sakit itu nggak mau ngomong sama sekali. Jadi bikin bingung harus apa."
Qia mengangguk-angguk. "Qia kalo sakit pengin makan telus, Om."
KAMU SEDANG MEMBACA
ELANO
Ficção Adolescente"Jangan cinta sama gue." "Kenapa" "Gue rumit." Elano adalah remaja penuh masalah rumit di masa lalu. Walau begitu ia terlanjur menyayangi Nala yang telah ia ajak ke dunianya yang sulit. Ada banyak kisah masa lalu yang belum selesai, justru muncul di...