Ego?

1.6K 107 4
                                    

Esoknya aku terbangun mendengar nada dering yang berbunyi semakin nyaring. Karena tak tahan dengan kebisingannya. Tanganku bergerak mencari ponselku dinakas.

Ridho♡ is calling...

Mampus. Sepertinya kemarin aku lupa mengabari Ridho.

"Halo, Dho."

"Hi, Sayang. Udah bangun?"

"Baru bangun ini. Maaf yaa kemarin aku nggak ngabarin kamu lagi sepulang kursus."

"Nggak apa-apa. Semalam aku udah dapat kabar dari Mami kamu. Nanti malam aku jemput ya, YangHari ini ulang tahunnya Firman."

"Lho, Kak Firman hari ini ulang tahun? Kok baru sekarang ngasih taunya. Kan aku bisa cari kado dari kemarin-kemarin."

"Kamu nggak usah bawa kado, Yang. Nggak apa-apa kok."

"Kan nggak enak aku."

"Udah tenang aja. Aku udah siapin kado. Nanti bilang aja dari kita berdua. Udah dulu ya, Sayang, aku udah nyampe RS ini. Bye, i love you."

"Yaa. Me too."

Setelah panggilan terputus aku terdiam merenung. Kemudian menemukan bayangan diriku sendiri dengan rambut acak-acakan di standing mirror yang menghadapku.

Aku menghela nafas panjang mengingat apa yang terjadi kemarin. Selesai makan malam, Bu Sofja menyuruh putra sulungnya untuk mengantarku pulang. Dengan segala bujukan dari Bu Sofja, akhirnya aku bersedia diantar oleh Agam.

"Nih, pakai Nis, dingin." Agam keluar dari rumah sambil menyerahkan jaket bomber berwarna hijau army kepadaku.

"Nggak apa-apa, Gam. Ini udah pake kardigan kok." Tolakku karena aku memang memakai kardigan untuk melapisi dress selutut tanpa lengan.

"Tipis lho itu. Anginnya lumayan kalo sampe rumah lo."

"Tapi-"

"Abang udah ambil jaketnya?" Bu Sofja tampak terburu-buru keluar rumah menghampiri tempat aku dan Agam. "Nah itu, dipakai ya Neng Nis jaketnya. Supaya nggak masuk angin." Lanjut Bu Sofja sambil menunjuk jaket di tangan Agam.

Saat akan mengambil jaket dari tangan Agam, ku lihat dia menaikkan kedua alisnya. Apa gue bilang. Mungkin itu maksudnya.

Setelah berpamitan pada Bu Sofja dan Syifa yang rupanya berada di teras. Agam mulai menjalankan motornya.

"Rumahnya nggak pindah kan, Nis?" Tanya Agam setelah motor berada di jalan raya.

"Iya, Gam. Masih inget jalannya?"

"Tenang." Ucapnya sebelum menurunkan kaca helm dan menaikkan kecepatan.

Malam itu merupakan kedua kalinya aku dibonceng oleh Agam. Yang pertama yaitu waktu SMA. Selesai kerja kelompok, Agam mengantarku pulang ke rumah. Agam dan teman-teman sekelasku yang lain pernah beberapa kali main di rumahku. Jadi pastinya Agam masih mengingat rumahku.

Setelah memastikan nyawa sudah terkumpul sepenuhnya aku beranjak dari kasur untuk membersihkan diri.

Saat aku turun ke lantai satu, keadaan rumah lagi-lagi hening. Mami dan papi dipastikan sudah berangkat ke tempat kerja, mengingat sekarang sudah pukul 8 pagi. Aku pun meneruskan langkah ke dapur untuk mencari makanan. Biasanya mami selalu masak pagi untuk sarapan. Benar saja, di meja makan sudah ada beberapa lauk yang tertutup tudung saji.

Kunyahanku memelan saat mataku menangkap toples kaca berukuran sedang berisi kue bulan sabit pemberian Bu Sofja semalam. Aku masih tidak menyangka, bisa berkenalan dengan keluarga Agam. Dulu, aku hanya sebatas tau Agam memiliki seorang adik perempuan.

Meant to Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang