Interaktif

594 56 9
                                    

Ibu Ati menyambut kedatangan aku dan Via dengan heboh.

"Gusti Allah. Ini kenapa naik motor ke sininya? Ibu kira Srin bakal bareng Aa. Tau gini Ibu minta tolong Seno buat jemput." Ucap Bu Ati mengelus pundakku sambil memperhatikan badanku, seolah aku baru pulang dari medan perang.

Aku tersenyum berusaha menenangkan kepanikan Bu Ati, "Nggak apa-apa, Bu. Naik motor juga seru."

Seharusnya aku berangkat ke sini besok pagi bersama Adri. Tapi, berhubung aku sedang kesal karena Adri tidak memberi kabar sama sekali, aku memutuskan berangkat hari ini bersama Via.

Via memang sudah biasa bolak-balik ke Ciwidey menggunakan motor. Sedangkan aku, langsung sakit body. Sehingga malamnya, Bu Ati membantuku mengoleskan krim pereda nyeri dan sakit otot.

"Udah kerasa anget?" tanya Bu Ati setelah selesai menoleskan di bagian punggungku.

"Udah, Bu. Enak." Jawabku sambil mengangguk.

"Ya sudah. Langsung tidur, ya." Bu Ati kemudian meninggalkan aku sendiri di kamar milik Adri. Sebenarnya aku ingin menelusuri kamar ini, tapi badanku terlalu lelah untuk melakukannya.

Aku terbangun karena udara yang terasa sangat dingin. Ternyata selimutku tersingkap. Kemudian aku mendengar suara berisik dari dapur. Saat kutengok jam, sudah menunjukkan pukul 4 subuh. Setelah nyawaku terkumpul sempurna, aku bangkit dari kasur untuk mengecek ke sumber suara.

Ternyata Bu Ati sedang membuat adonan lobi-lobi kesukaan Adri.

"Nah, kalau udah gini mah tinggal dibentuk bulet aja, sama jangan lupa gulanya dimasukin. Kaya gini."

Aku langsung membentuk adonan mengikuti cara-cara yang diajarkan oleh Bu Ati. Bu Ati bercerita, kalau Adri itu suka banget sama yang namanya ubi. Turunan dari almarhum Abah, katanya.

"Aa itu sempet mau berhenti kuliah waktu Abah meninggal. Katanya mau kerja aja. Mungkin karena Aa anak sulung, laki-laki satu-satunya, merasa bertanggungjawab terhadap keluarganya. Alhamdulillahnya Aa kenal sama orang-orang baik. Sama A Wildan, sama Papi Srin. Ibu bersyukur.

Tapi Ibu juga khawatir lihat Aa kerjaannya cuma belajar sama cari uang. Sepuluh tahun ini Aa nggak pernah ngenalin perempuan ke Ibu. Tapi Ibu juga nggak berani tanya-tanya Aa, takut makin nambahin beban. Aa itu sudah banyak berkorban buat Adiki-adiknya. Ira sama Nia itu bisa sekolah karena Aa. Selesai sekolah, Ira sama Nia alhamdulillah mulai bisa bantu-bantu."

Obrolan kami terhenti saat adzan subuh berkumandang. Aku dan Bu Ati dengan kilat menyelesaikan pekerjaan.

"Srin..." Bu Ati memanggil sebelum aku beranjak dari dapur. Tangan Bu Ati menggenggam tanganku. "Terima kasih, ya, sudah mau terima A Adri. Aa bukan manusia sempurna, banyak kurangnya. Jadi, kalau ada sikapnya yang kurang berkenan bagi Srin, mohon dimaafkan, ya. Ingatkan juga Aa kalau suatu waktu dia ada salah."

Aku tersenyum dan membalas genggaman tangan Bu Ati. "Iya, Bu. Terima kasih sudah menerima Srin juga. Srin sama, Srin bukan manusia sempurna. Ibu juga tolong ingatkan Srin kalau ada perilaku yang kurang berkenan ya, Bu. Srin juga mau bilang, terima kasih sudah melahirkan putra seperti A Adri."

-

Selepas kepulangan keluarga Kak Wildan, rumah Adri masih dipenuhi oleh keluarga dan tetangga.

Mereka semua sangat ramah, menerimaku dengan tangan terbuka dan sedikit ceriwis. Kadang aku kewalahan mengobrol dengan mereka, belum juga menjawab pertanyaan yang satu, pertanyaan yang lain sudah datang. Tapi aku sangat senang berada di sini, hangat.

Aku berpamitan sebentar pada Ibu-Ibu untuk menjawab panggilan video dari Mami, kemudian melipir ke teras.

"Assalamu'alaikum, Mi, eh Papi juga." Aku melihat Mami dan Papi sedang duduk berdempetan di layar ponsel.

Meant to Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang