Indah

678 71 0
                                    

Irisan daging sapi yang baru saja matang diletakan di piringku oleh Tia, membuatku memandangnya dengan mata menyipit.

"Nggak usah ngeliatin gue kayak gitu! Makan aja, lagi baik gue."

"Ternyata, waktu lo cerita kelakuan Surya beneran, ya. Gue kira lo halu." Ucapku setelah memasukan king karubi matang ke mulutku.

Tia berdecak. "Gue nggak se-desperate itu kali, Nis. Dia emang memperlakukan gue dengan sangat baik."

"Terus, siapa yang gerak duluan?"

"Dialah! Jadi," kalimatnya tertahan karena Tia harus membalikan daging yang sedang dipanggang. "setelah kejadian Surya disamperin pacarnya tuh, kan, gue ngejauh dari Surya. Ternyata, Surya ngeh kalau gue jauhin dia. Dia tanya, kenapa gue ngehindarin dia, gitu. Waktu gue bilang, kalau gue nggak enak sama pacarnya dia, Surya ngejelasin lah semuanya. Ngejelasin sejelas-jelasnya, dari awal hubungan mereka sampai putus tempo hari, waktu mantannya dateng ke Rumah Singgah itu. Dari situ, dia juga bilang ada rasa sama gue, terus minta kesempatan. Ya udah, gini deh, dijalani." Jelasnya.

"Lo seneng, Ti?"

Tia mengangguk beberapa kali. "Seneng banget. Ternyata, dicintai balik sama orang yang kita cintai itu membahagiakan, ya." Senyuman tampak tidak lepas dari bibir Tia. "Jadi, lo sendiri kapan?" Tia balik bertanya.

Aku menghela nafas, kemudian meletakan sumpitku di piring. "Kacau lo, Ti. Malah ngeduluin gue."

Tia tertawa dengan responku. "Si Agam lagi nunggu waktu yang pas aja, kali. Pengen nembak langsung."

"Hmm, mungkin." Jawabku asal, kemudian kembali menyumpit daging yang sudah matang.

Agam memang belum melakukan pergerakan lebih semenjak kedekatan kita di Seoul. Mungkin, Agam juga tipe orang yang lama melakukan pendekatan. Sama seperti Ridho, dulu.

"Tapi, Nis. Cerita Agam bukan cuma halu kan, lo?" suara Tia membuyarkan lamunanku.

"Dodol! Malah dibalikin. Ya nggak lah!"

Tia tertawa sangat kencang melihat respon dongkolku, membuat beberapa pengunjung menatap ke meja kami.

"Heh! Biasa aja kali ketawanya. Malu-maluin gue aja, lo!" ujarku sambil menepuk tangan Tia.

Bukannya segera menghentikan tawanya, Tia malah semakin tertawa sampai membungkukan badan memegangi perutnya yang sepertinya kesakitan, bahkan sampai terbatuk-batuk.

Wajahnya sampai memerah saat dia kembali duduk tegak.

"Gila! Sakit banget tenggorokan gue."

"Rasain!" sungutku. "Kualat, lo."

-

"Aduuh, jazakillah khair." Ucap Bunda saat menerima paper bag dariku. "Makasih ya, cantik. Repot-repot bawain Bunda oleh-oleh. Nanti Bunda unboxingnya barengan sama Syifa." Katanya sambil berlalu ke belakang.

Setelah menyimpan paper bag, Bu Sofja, -maksudnya Bunda, ehem-, mendudukan dirinya disampingku.

Saat aku masih di Korea Selatan dan sering melakukan panggilan telepon maupun video, Bu Sofja memintaku mengubah panggilan menjadi Bunda.

"Neng Srin panggil Bunda aja, ya. Jangan Bu Sofja lagi." Begitulah kira-kira permintaan beliau,saat aku menelponnya untuk memberi kabar kepulanganku. Biar lebih hangat,katanya.

"Bunda udah calling-caling sama Ayah sama Syifa. Abang pasti nanti kaget banget liat Neng Srin disini." Jelas Bunda bersemangat.

Sudah kubilang, kan. Aku akan memberi kejutan pada Agam, hari ini adalah pelaksanaannya, tepat di hari ulang tahun Agam. Bahkan, tadi pagi aku masih mengirim pap dengan latar belakang apartemenku. Supaya kebohonganku terasa semakin nyata.

Meant to Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang