Datang Tiba-Tiba

830 75 0
                                    

Dering telepon memecahkan konsentrasiku yang sedang mendengarkan dengan seksama dialog dari drama korea tanpa translate yang kutonton di televisi.

Dengan berat hati, aku beranjak dari dudukku menuju kamar. Ponselku sedang diisi baterainya di kamar.

Sesuai dugaanku, orang yang menelpon adalah Tia. Setiap malam Tia memang selalu menanyakan kabarku. Tak lama, aku langsung menekan ikon hijau untuk menerima panggilannya.

"Annyeonghaseyo eonni." Sapaku.

"Annyeong! Annyeong! Udah berasa jadi orang sana, lo?" gerutuan Tia membuatku tertawa. Aku sudah terbiasa menghadapi kesewotan Tia seperti ini setiap malam.

"Udah cocok banget dong gue, tinggal dilamar Oppa Park Hyung Sik aja ini." Candaku.

"Jangan halu, deh! Daripada halu melulu, mending balik aja!"

"Gimana ya, Ti. Gue nggak bisa jauh dari Oppa." Ucapku sok sedih.

"Oh... Jadi lo nggak mau menghadiri perayaan ulang tahun gue, gitu?!"

"Lagian tumbenan banget mau dirayain." Sebenarnya, setelah bertahun-tahun berteman dengan Tia, dia tidak pernah mempermasalahkan perihal perayaan ulang tahun. Aku tahu, kalau ini hanya salah satu cara Tia supaya aku mau kembali ke Indonesia.

"Karena tahun ini gue udah seperempat abad, sekali-kali boleh lah dirayain. Sambil berbagi juga, kan."

"Sambil modus juga, ya?"

"Nggak lah. Gila aja gue mepetin cowok orang! Gue masih tau diri, ya! Nggak enak aja kalau gue batalin, takutnya anak-anak sana udah berharap." Aku tertawa mendengar jawaban Tia.

Jadi begini, sebulan setelah aku pergi ke Negeri Ginseng ini. Tia sudah mulai mengajar di Rumah Singgah milik Surya. Awalnya semua berjalan lancar. Surya sangat baik pada Tia. Tia seolah memiliki harapan dengan perasaannya pada Surya. Sayangnya, sebulan lalu seorang perempuan mendatangi Rumah Singgah, memperkenalkan diri sebagai pacarnya Surya. Tia jelas merasa patah hati dengan kenyataan itu. Karena selama berbulan-bulan mengenal Surya, laki-laki itu tidak pernah menunjukan tanda-tanda sudah memiliki kekasih.

Panggilan berakhir satu jam kemudian. Tia pamit karena harus segera menutup toko.

Suasana hening setelah panggilan berakhir. Hanya terdengar suara samar-samar dari luar kamar yang berasal dari televisi yang belum aku matikan.

Setelah mematikan televisi, aku beranjak ke dapur untuk membuat coklat panas dan memilih menikmatinya di balkon sambil memandang lampu-lampu perkotaan yang tampak cantik dari atas sini.

Tidak terasa, sudah hampir delapan bulan aku berada di sini. Untuk pertama kalinya, meninggalkan Bandung cukup lama.

Dua bulan setelah perpisahan waktu itu, aku masih menangis dan merasa sesak setiap melewati tempat yang memiliki kenangan dengan orang itu.

Editorku mengusulkan aku untuk liburan, atau istilahnya melakukan healing. Akhirnya aku memutuskan ke sini untuk berlibur sambil menekuni bahasa Korea secara serius.

Kegiatan favoritku setiap malam adalah melamun di ketinggian lantai 10, unit apartemenku berada. Hanya melihat lalu lalang mobil dikejauhan, sambil menunggu kantuk datang.

-

Hari ini aku tidak memiliki jadwal kursus. Waktu luang ini aku manfaatkan untuk berjalan-jalan dan berburu makanan di Itaewon.

Setelah kenyang, aku memutuskan mampir ke masjid tertua di Korea Selatan untuk melaksanakan shalat dzuhur.

Di pertengahan tangga, aku melihat sebuah benda terjatuh dari tas seseorang. Benda berupa tumbler itu menggelinding ke arahku, dan segera aku tangkap saat sudah tepat di depanku.

Meant to Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang