Energiku sudah terkuras habis rasanya. Setelah siang hari menjadi pembicara di salah satu seminar, malamnya aku melaksanakan acara bridal shower. Tapi, bridal shower ini berbeda dari bridal shower lainnya. Acaranya pun hanya dihadiri oleh dua orang, yaitu aku dan Tia.
“Parah banget, sih, lo. Masa di nikahan gue lo kaya panda gini.” Tia terus mengomeliku karena kondisi wajahku benar-benar memprihatinkan dengan lingkaran hitam di sekitar mata, tapi tangannya dengan terampil menempelkan eye mask di bawah mataku.
Aku terkikik mendengar omelan Tia. “Kan, pengantennya elo. Kenapa jadi khawatirin gue, sih?”
Tia membuka bungkusan sheet mask sebelum menjawab pertanyaanku. “Biar nggak malu-maluin gue aja, kalo bridesmaidnya cakep.” Tangan Tia mulai menyingkirkan rambut-rambut yang hinggap di wajahku, kemudian sensasi dingin di wajahku terasa saat Tia menempelkan sheet mask.
“Enak, Ti.”
“Iya, lah. Mahal ini sheet mask gue.” Kata Tia sambil bangkit membuang bungkusan ke tempat sampah di samping nakas. “Ko bisa, sih, itu mata item banget?”
“Biasa, deadline. Sama tegang persiapan seminar." Jawabku. “Tenang aja, sih, besok juga ketutup make up.”
Tia menghela napas, kemudian ikut berbaring di sampingku. Kami hanya terdiam memandang langit-langit kamar Tia.
“Ya ampun. Gue masih nggak nyangka besok bakal jadi bini orang.” Celetuk Tia tiba-tiba.
Aku menganggukan kepala setuju dengan ucapan Tia. Rasanya baru kemarin aku dan Tia sering berebut barbie saat main rumah-rumahan. “Inget nggak, Ti. Dulu, lo tuh nggak pernah mau ngalah sama gue.”
Dari sudut mataku, aku melihat Tia mengangguk. “Inget banget. Padahal mainan juga punya lo. Tapi gue, dengan nggak tahu dirinya selalu ambil yang lo mau.”
“Emang nggak tahu diri. Tapi kenapa gue betah temenan sama lo ya, Ti?”
Tia memutar badannya menghadap ke arahku, kemudian menyangga kepalanya dengan tangan. “Karena nggak ada lagi yang mau temenan sama lo.” Aku menekuk wajah mendengar jawaban Tia. “Sama Pak Adri gimana? Baik-baik aja?”
“Ih, kan, besok nikahan lo. Harusnya kita bahas elo. Jadi, gimana Bu Nitia, rasanya akan menjadi Nyonya Saputra?”
-
“Kak, itu Agam, kan?” Mona menunjuk seseorang yang sedang menulis di meja buku tamu. Ternyata benar Agam dan Bunda Sofja.
Aku bangkit dari duduk bermaksud menemui mereka. “Mon, gue sapa dulu Agam sama Bunda Sofja, ya.” Aku langsung menghampiri Agam dan Bunda Sofja yang hendak mengantri ke pelaminan. Bunda Sofja memang diundang oleh Tia, karena beliau langganan di toko bunga milik keluarga Tia. Sedangkan Agam, dia teman sekelas kami saat SMA. Sudah pasti dia juga mendapatkan undangan grup kelas.
“Bunda!”
Bunda Sofja dan Agam langsung menghentikan langkah begitu menyadari aku mendekat.
“Ya Allah, cantiknya anak Bunda.” Ucap Bunda Sofja sambil membawaku cipika-cipiki.
“Aamiin… Bunda juga cantik. Ayo, Bun, Srin anter.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Meant to Be Loved
RomanceNisrina pikir, kepergian Ridho adalah akhir dari segalanya. Ternyata, itu adalah gerbang pembuka untuk kisah-kisah lain yang menantinya di kemudian hari.