Agam sedang berdiri di balkon saat aku keluar kamar setelah membersihkan diri. Sepertinya sedang melakukan panggilan dengan Bang Faruk, karena namanya terdengar disebut beberapa kali.
Sekarang sudah pukul sebelas malam. Agam memutuskan untuk ikut naik ke apartemenku, karena ingin memastikan aku baik-baik saja. Padahal, besok dia sudah harus terbang ke Indonesia.
Di atas meja, sudah tersaji dua buah mug berisi coklat panas. Aku mengambil mug bergambar kaktus, kemudian meneguknya rakus setelah mendudukan diri di sofa. Coklatnya sudah tidak terlalu panas, btw.
"Itu udah gue minum, omong-omong."
"Oh." Bengong, itu yang kulakukan. Untung saja mug ini baru menempel di bibirku, saat aku akan meneguknya untuk kedua kali. Jadi, adegan tersedak tidak harus aku alami.
Agam terkekeh melihat responku, kemudian menepuk puncak kepalaku sekali sambil duduk di sebelahku. "Tenang. Terakhir cek, gue sehat, kok." Katanya sambil menyengir.
Tadi, aku memang asal main ambil saja. Karena mug bergambar kaktus ini memang yang paling sering aku gunakan.
"Maaf ya, Gam." Ucapku tidak enak. "Lo nggak bikin kopi?"
Agam menaikan kedua alisnya saat mendengar pertanyaanku. Kemudian menyandarkan tangan kanannya ke punggung sofa. "Nggak nemu kopi, adanya coklat sama teh."
Aku menepuk jidat menyadari kebodohanku. Aku memang sangat jarang sekali menyetok kopi, karena kurang suka kopi.
"Emang nggak nyetok, sih." Kataku sambil terkekeh.
Agam mengangguk-anggukan kepalanya. "Merasa baikan?" tanyanya.
Pertanyaan Agam membuatku menoleh, membalas tatapannya. "Gue boleh jujur?" tanyaku setelah terdiam menatapnya cukup lama.
Agam menganggukan kepalanya lagi. "Tentu."
"Gue cemburu sama perempuan bule, tadi." Aku memutus pandangan terlebih dahulu, saat melihat raut wajah Agam yang terkejut dengan pengakuanku. "Rasanya sama kaya dulu, waktu liat lo bonceng cewek lain sepulang sekolah." Lanjutku.
Agam menarik dirinya dari posisi bersandar dan mencondongkan dirinya ke arahku. Berusaha menatap mataku. "Hei, Nis." Agam mengambil mug ditanganku, menyimpannya di meja, kemudian memegang kedua bahuku mengarahkan agar aku berhadapan dengannya. "Bisa jelasin dari awal?" tanyanya dengan suara lembut.
"Gue... suka sama lo, dulu." Mulaiku sambil menunduk melihat kepalan tanganku. "Tapi gue nggak pernah punya keberanian buat ngungkapin perasaan gue. Gue makin nggak berani setelah lo sama Fania jadian. Yang akhirnya, perasaan itu cuma bisa tersimpan untuk gue sendiri. Liat lo di club tadi, bikin perasaan yang dulu sempat gue rasain dateng lagi. Gue selalu cemburu sama Fania yang ada diboncengan lo, Gam. Kejadian tadi, bikin gue sesak lagi, Gam." Jelasku kemudian diakhir kalimat aku menepuk-nepuk dadaku, membuat Agam langsung menggenggam kedua tanganku.
"Hei, hei, Nis." Salah satu tangan Agam mengusap pipiku yang sudah basah, sementara tangan satunya masih menggenggam tanganku erat. Saat melihatku semakin menangis, Agam memelukku, menyandarkan kepalaku di dadanya. "Maaf. Gue jahat sama lo. Maaf, Nis." Agam semakin mengeratkan pelukannya, membuatku semakin menangis.
Sadar dengan apa yang baru saja kulakukan, aku langsung melepaskan diri dari pelukan Agam. Kulihat sweaternya yang basah, sebelum melihat matanya. "Gam, sorry, sorry." Aku buru-buru menyeka mukaku yang basah dan merapikan rambutku. "Gam, gue lebay, ya?" Tanyaku sambil melirik Agam takut.
Agam tiba-tiba tertawa kencang setelah sebelumnya sempat memandangku bingung melihat kelakuanku yang tiba-tiba berubah dalam sekejap.
Sementara aku, mengikuti Agam tertawa diantara sisa-sisa tangisku. "Kok, lo malah ketawa, sih?" aku bertanya setelah tawaku reda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meant to Be Loved
RomanceNisrina pikir, kepergian Ridho adalah akhir dari segalanya. Ternyata, itu adalah gerbang pembuka untuk kisah-kisah lain yang menantinya di kemudian hari.