Alasan

705 75 0
                                    

Angin yang berhembus cukup kencang membuatku semakin merapatkan mantel, begitu juga orang-orang yang berlalu lalang di trotoar ini.

"Santai aja, mereka baik. Bu Sinta pasti seneng banget kalo ketemu orang Indonesia."
Setelah turun dari bus, Agam masih berusaha meyakinkan aku untuk ikut makan malam bersama timnya.

Urusan pekerjaan Agam disini sudah selesai kemarin. Waktu luang hari ini, Agam manfaatkan untuk jalan-jalan lagi, sebelum besok kembali ke Indonesia. Tadi, saat sedang melihat barang-barang antik, Agam dikabari oleh seniornya terkait undangan makan malam dari klien mereka.

Disinilah kami sekarang di depan pagar rumah yang tinggi menjulang, kemudian pintu pagar di buka setelah Agam memencet bel.

Hunian dua tingkat keluarga Pak Choi tampak asri dengan halaman depan yang cukup luas dan ditumbuhi berbagai macam pohon dan tanaman hias.

Bu Sinta, istri Pak Choi menyambut ramah kehadiran kami. Beliau langsung memelukku dan mengatakan sangat gembira bisa bertemu dengan aku, sesama dari Indonesia.
"Maaf ya, Gam, saya ngasih kabarnya mendadak. Jadi ganggu kencan kalian, ya?" Bu Sinta berkata sambil menggiring kita memasuki ruang makan.

"Pantesan suka ilang-ilangan, kalau lagi free. Nyamperin ini ternyata." Kata seorang laki-laki yang menaik-naikan alisnya sambil melirik-lirik ke arahku.

"Apaan sih, Bang." Agam meninju bahu laki-laki itu pelan, kemudian menatapku. "Nis, ini Bang Faruk, senior gue di kantor."

"Nisrina." Ucapku sambil mengulurkan tangan.

Bang Faruk langsung menyambut jabatan tanganku. "Nis, Agam sama pacar masih suka galak, nggak? Di kampus sama di kantor dia suka galak ke anak-anak." Agam langsung melepaskan jabatan tanganku dan Bang Faruk saat mendengar pertanyaan itu, kemudian menggiringku ke tempat duduk yang bersebrangan dengan Bang Faruk. "Nggak usah didengerin," bisiknya.

Sementara, Bu Sinta tertawa melihat kelakuan mereka. "Faruk, kamu jangan jahil gitu, dong. Cari pacar juga sana."

"Kalau Ibu ada kenalan orang lokal sini, Bu" Kata Bang Faruk sambil menyengir.

Bu Sinta tampak berpikir sebentar. "Ada sih, dia mualaf."

"Boleh banget itu, Bu " kata Bang Faruk sambil menggosok-gosok kedua tangannya.

Kalimat Bu Sinta selanjutnya membuat kebahagiaan Bang Faruk lenyap seketika. "Tapi nggak yakin mau sama kamu."

Kemudian kami tertawa serempak, kecuali Bang Faruk, tentunya.

Makan malam dimulai saat Pak Choi dengan Pak Nam -sekretaris Pak Choi yang aku lihat di coffee shop waktu itu, bergabung bersama kami.

Pak Choi sama ramahnya dengan Bu Sinta. Beliau bahkan lancar berbahasa Indonesia walaupun masih berlogat khas orang Korea.

"Lima tahun lalu kami pernah berkunjung ke Bandung waktu pulang ke negara istri saya. Kita waktu itu ke Cibaduyut ya, Yeobo?" Pak Choi bertanya kepada Bu Sinta.

"Betul, ke Cibaduyut. Bapak waktu itu borong sepatu. Oleh-oleh buat keluarga disini, katanya," cerita Bu Sinta. "Terus kami juga waktu itu sekalian ke Garut, ke pabrik pembuatan dodol. Setoples, dihabisin sendiri sama Bapak." Lanjutnya.

"Karena rasanya enak sekali. Makanan di Garut sama enaknya dengan di Bandung."

"Tapi makan sambelnya langsung K.O, Yeobo." Sahut Bu Sinta membuat kami tertawa.

"Pedas sekali sambal itu." Pak Choi membela diri.

Percakapan mengenai makanan Nusantara terus berlanjut, membuat aku semakin merindukan Indonesia. Begitu juga Bu Sinta, merindukan tempat lahirnya di Surabaya.

Meant to Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang