Ngengat

498 46 0
                                    

Notifikasi pesan masuk membuatku bersemangat membukanya. Benar saja, itu pesan dari orang yang aku tunggu. Tapi, isi pesannya malah membuatku kecewa.

M. Ragam Husein

(17.13) Babe, aku masih ada klien.

(17.13) Kamu belum berangkat, kan?

(17.13) Kita ganti ke hari lain nontonnya, ya?

Arabella Nisrina

Belum, Gam. (17.15)

Oke kalo gitu. (17.15)

Aku menghembuskan napas kencang, kemudian mengangkat kepala untuk melihat lalu-lalang pengunjung bioskop ini. Sepasang manusia yang bergandengan, baru saja melewati tempatku duduk di kursi yang tersedia di lorong.

Ya. Aku berbohong pada Agam. Sore ini, kami berencana untuk nonton. Sebenarnya, jadwal penayangan film yang akan kami tonton mulai pukul 17.40. Jadi, untuk menghindari kemacetan, aku memutuskan berangkat lebih awal. Jam 4 aku sudah sampai, dan sedikit berkeliling di mall ini.

Ponsel segera aku masukan ke dalam sling bag. Takutnya aku malah kelepasan ingin menelpon Agam dan mengatakan aku sangat kesal. Bagaimana tidak kesal? Agam membatalkan begitu saja, padahal aku sudah berada di sini. Memang sih, ini inisiatifku untuk datang lebih awal. Tapi, kan... arrghh! Udah lah, mending aku pulang saja.

Saat ingin memesan ojol, aku melihat history pemesanan menuju tempat Papi bekerja yang tak lain adalah tempat aku menimba ilmu juga. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku memutuskan untuk berjalan ke tempat Papi -setelah mendapat balasan kalau Papi masih di sana-, karena jaraknya sangat dekat. Biasanya, menuju weekend Papi pulang lebih cepat.

Lampu-lampu di koridor sudah dinyalakan begitu aku menginjakan kaki di Fakultas Kedokteran, ruangan Papi berada di ujung. Walaupun sudah hampir maghrib, beberapa bangku di taman fakultas masih dipenuhi mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas atau sekedar berbincang melepas penat.

Dari jarak lima meter, terdengar suara tawa Papi yang membahana itu, khas Bapak-Bapak. Karena takut mengganggu, aku memilih mendudukan diri di kursi panjang depan ruangan Papi.

Omong-omong soal Ridho, orangnya baru saja muncul di hadapanku. Dia sempat mematung begitu melihatku duduk di sini. "Eh, Nis. Mau ketemu Prof. Agus?" tanyanya.

Jawabanku tertahan karena sosok Papi muncul di belakang Ridho bersama satu orang lainnya, masih sambil berbincang dan tertawa. Dua orang itu juga sempat terkejut melihatku.

"Srin, ngagetin aja. Kirain apa magrib-magrib gini ada yang putih-putih." Ucapan Papi membuatku cemberut, disangka Tante K kali, ya? Pantas saja orang-orang terkejut. Karena aku duduk di koridor yang sedikit remang dengan tampilanku yang memakai casual dress dan sepatu kets yang sama-sama berwarna putih.

"Tunggu di dalem, Nak. Papi mau ke masjid dulu."

Bertepatan dengan kepergian ketiga orang tersebut, adzan maghrib berkumandang. Aku mendudukan diri di sofa yang tersedia di ruangan Papi. Ruangan ini lebih luas dari ruang kerja Papi sebelumnya. Di meja, ada tiga gelas kopi yang isinya sedikit lagi. Pasti itu punya Papi, Ridho, dan laki-laki berbadan tinggi tegap yang sepertinya tidak terlalu asing.

Aku sedang berusaha mengingat dimana aku pernah bertemu dengan orang itu. "Oh.." aku menepuk tangan sekali saat sebuah kacamata hitam di atas meja tertangkap oleh penglihatanku. "yang di batu cinta itu, ya?" kataku sambil menunjuk kacamata itu. Aku mengangguk puas setelah berhasil mengingatnya, kemudian memilih membuka ponsel untuk men-scroll timeline twitter, suapaya tidak bosan.

Meant to Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang