Rasa Yang Pernah Ada

770 77 3
                                    

Rencanaku untuk langsung pulang setelah menghadiri kelas terpaksa harus diurungkan. Gita, teman sesama pelajar dari Indonesia, mengajak aku untuk makan malam terlebih dahulu. Sebagai perayaan selesainya ujian mid semester, katanya. Gita adalah salah satu pelajar berprestasi asal Tangerang yang memiliki kesempatan mendapatkan beasiswa kuliah di Korea Selatan. Sekarang adalah tahun ketiga Gita mengenyam pendidikan di Negeri Ginseng ini.

Pertemuanku dengan Gita terjadi di sebuah kedai makan, pada bulan kedua aku disini. Saat itu, aku dan Gita duduk bersebelahan dan berbincang banyak. Kemudian kami jadi sering hangout di waktu-waktu luang kami.

"Memangnya tidak bosan makan disini?" Haziq bertanya saat kami mendudukan diri di salah satu meja restoran.

"Sebenarnya sedikit bosan. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlalu malas berjalan jauh." Gita menjawab pertanyaan Haziq.

Haziq adalah teman Gita di Universitas yang berasal dari Malaysia. Haziq terkadang ikut kita hangout berburu makanan halal di negeri ini. Seperti hari ini, Haziq mengikuti Gita karena tahu kita akan makan-makan.

"Aku sangat merindukan kupat tahu di Cihapit." Aku menerawang membayangkan kenikmatan makanan yang sudah berbulan-bulan tidak aku temui.

"Waah! Aku sudah mencari kupat tahu di Naver." Haziq berkata antusias. "Dari gambar sepertinya terlihat lezat. Aku jadi penasaran, ingin mencicipinya."

"Aku juga penasaran. Aku pernahnya makan kupat tahu Padalarang, sih." Sahut Gita.

Kemudian percakapan berlanjut mengenai makanan-makanan yang ingin kita coba dari berbagai negara.

Setelah kenyang, kami melanjutkan pergi ke coffee shop untuk membeli minuman.

Saat menunggu Haziq membawa pesanan kami. Dari tempatku duduk yang menghadap ke pintu masuk, aku dapat langsung menyadari kehadiran Agam diantara rombongan berisi lima orang yang baru memasuki coffee shop ini.

Agam mengangkat alisnya kemudian melambaikan tangan saat menyadari keberadaanku yang aku balas dengan senyuman lebar.

"Senyum ke siapa, Kak?" Gita mengikuti arah pandangku. "Itu teman Kak Nis dari Indonesia juga?" tanya Gita saat mengalihkan tatapannya padaku lagi.

Aku mengangguk sebagai jawaban pertanyaan Gita. "Ganteng, Kak. Yang baju merah." Kata Gita sambil terkekeh.

"Siapa yang ganteng?" tanya Haziq sambil menyerahkan pesanan masing-masing, kemudian duduk di sampingku.

"Kepo." Kemudian yang terjadi selanjutnya adalah perdebatan kedua manusia itu.

Mengabaikan hal yang sudah biasa aku alami saat pergi dengan mereka, aku mulai menikmati hot chocolate pesananku. Sesekali melirik Agam yang saat ini memakai kemeja warna maroon di balik mantelnya dan celana chino warna khaki.

Aku setuju dengan Gita, Agam memang tampan. Bahkan di mataku, Agam selalu tampan sejak SMA dulu.

Lamunanku buyar saat Haziq mencolek lenganku. "Kamu baik-baik saja?" tanya Haliq.

"Ya. Baik, kok." Aku mengangguk-angguk, kemudian melihat Gita yang ikut terdiam memangdangku.

"Cape ya, Kak? Kita pulang aja, yuk." Ajak Gita sambil membereskan barang bawaannya.

Aku pulang tanpa berpamitan dengan Agam, karena suasana meja mereka terlihat sedang membahas hal serius. Takut menganggu.

Dua jam kemudian, saat aku sudah berada di apartemen. Aku mendapatkan panggilan dari nomer asing.

"Assalamu'alaikum, Ibu Tour Guide?"

Aku tertawa mendengar sapaan itu, siapa lagi kalau bukan Agam. "Waalaikumsalam, Pak Gembul."

Meant to Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang