Afirmasi

607 54 0
                                    

"Akhirnya, gue bisa kasih kepastian ke si Bos." ucap Kak Alex saat menerima naskah dariku. "Tiada hari gue lewatin tanpa mendengar pertanyaan 'Abel kapan ngirim naskah baru?' dari si Bos." Aku tertawa saat Kak Alex menirukan Pak Rama —direktur Penerbit Parama Pustaka—, lengkap dengan logat Jawa-nya.

Kak Alex merupakan salah satu editor di Parama Pustaka yang sudah membantuku sejak penerbitan komik pertama. Mengenal Kak Alex bertahun-tahun, membuatku menyadari Kak Alex itu bisa berubah menjadi apa saja, salah satunya bisa berubah menjadi seperti Ibu Kos galak yang menagih tunggakan di akhir bulan. Tapi, selebihnya, Kak Alex itu orang baik yang selalu sabar menghadapi segala kelabilanku, mengarahkan aku yang tersesat di jalan plot hole untuk kembali ke jalan yang lurus. Bisa juga menjadi sahabat yang siap-sedia mendengar curahan hatiku. Paling bisa juga, menjadi Kakak yang rese pada Adiknya.

Kak Alex menganggukan kepalanya setelah membaca sekilas naskah yang aku berikan. "Sip, deh. Nanti gue kupas lagi. Sisanya pertengahan tahun bisa, kan?"

"Hmm..." aku menimbang sejenak jawaban apa yang harus aku berikan kepada Kak Alex, karena aku belum menemukan ending untuk komik baruku. "Gue usahain ya, Kak." Ucapku akhirnya sambil diiringi cengiran.

"Mending lo bantu doa, Kak. Biar gue cepet dapet ilham buat namatin itu cerita." Aku menyerobot saat Kak Alex sudah membuka mulutnya, siap mengomel pasti.

Saat aku pergi ke Seoul, kami membuat kesepakatan. Lebih tepatnya, aku yang memaksa Kak Alex untuk tidak menerorku menanyakan komik baru sampai aku yang menghubunginya terlebih dahulu. Kak Alex langsung menyetujui begitu saja, tanpa sesi wawancara ini-itu. Mungkin Kak Alex kasihan melihat aku yang galau, waktu itu.

Sebulan yang lalu, akhirnya aku bisa memberi Kak Alex kabar baik yang mengantarkan kami pada pertemuan hari ini di toko roti yang berada di Jalan Braga. Sebenarnya, aku bisa saja mengirim naskah melalui email. Tapi, kami sepakat untuk sekalian bertemu saja, karena ada sedikit oleh-oleh yang harus aku berikan.

"Jadi, gimana Seoul? Udah nemu Oppa? Betah banget lo, disana." See, Kak Alex bersahabat mode on.

"Betah dong. banyak Oppa. Tapi yang paling penting sih, disana nggak ada lo, Kak." Candaanku membuat Kak Alex melotot dan menghadiahiku cubitan di pipi yang membuatku memekik. "Sakit, Kak!" kesalku sambil mengusap pipi yang sepertinya memerah. Karena cubitan Kak Alex tidak main-main.

"Makin bulet, sih. Minta dicubit banget." Kak Alex tertawa puas melihat penderitaanku. "Pasti kerjaan lo disana cuma pergi kursus, makan, terus rebahan doang." Nah, kalau yang ini Kak Alex Kakak rese mode on.

Tiga puluh menit kemudian, Agam mengabariku kalau dia sudah dekat, membuat pertemuanku dengan Kak Alex harus diakhiri. Aku memilih menunggu di depan saja, supaya Agam tidak perlu mencari tempat parkir terlebih dahulu, alias ribet guys.

Mobil Agam sudah terlihat dari tempatku berdiri. Setelah berpamitan dengan Kak Alex, aku langsung menaiki mobil Agam. "Maaf ya, Gam. Jadi harus muter dulu kesini." Ucapku setelah selesai memasang seatbelt.

Sebenarnya, aku berniat untuk pergi sendiri ke tempat janjian kita di Setiabudi. Tapi Agam memaksa ingin menjemputku. Padahal, kantor Agam berada di Dago. Jadi dia harus turun dulu dari kantornya ke sini.

"Nggak apa-apa, muternya juga ngga sejauh ke Phu Quoc, kok." Jawab Agam tenang sambil menghentikan mobilnya karena tertahan lampu merah.

"Hah? Apa? Fu- apa?" aku menatap Agam untuk memastikan pendengaranku.

"Phu Quoc." Ulangnya. "Nggak tahu, ya?"

"Nggak. Baru denger. Itu nama tempat, ya?" Agam menganggukan kepala sebagai jawaban. "Dimana?" aku bertanya lagi karena benar-benar tidak tahu.

Meant to Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang