Yearlong

638 64 14
                                    

"Yakin kamu, Dho?"

"Yakin, Pa." jawab Ridho tegas.

Ridho tahu, kedua kedua orang tuanya pasti terkejut dengan keputusan yang tiba-tiba dia ambil. Keputusan untuk kembali ke sana, ke tempat yang setahun ini dia tinggalkan. Tempat yang memberi kenangan manis dan pahit sekaligus.

Setahun lalu, hidup Ridho sangat hancur begitu vonis itu menimpa dirinya. Bukan hanya Ridho, orang-orang yang dicintainya juga ikut terpukul mendengar kabar itu.

Setahun ini, Ridho berjuang. Berjuang memulihkan kembali dirinya, berjuang memulihkan kembali kepercayaan dirinya. Mungkin, ini juga saat yang tepat untuk memperjuangkan kembali mimpinya, untuk mengambil kesempatan yang dibuka oleh seseorang yang sangat Ia hormati.

Dua minggu sebelum Ridho meninggalkan Indonesia, Ridho memberanikan diri menemui Prof. Agus untuk berpamitan sekaligus meminta maaf karena sudah menyakiti putri semata wayangnya.

"Sebagai seorang Ayah, saya sangat kecewa karena kamu sudah meragukan putri saya. Tapi, sebagai seorang Guru, saya berharap kamu segera kembali pulang. Mimpi kamu masih bisa kamu raih. Kalau kamu merasa ragu untuk berhadapan langsung dengan pasien, kamu bisa membantu mereka yang bermimpi sama seperti kamu, dengan membagikan ilmu-ilmu yang kamu ketahui kepada para calon dokter itu. Mengajarkan ilmu kepada orang lain juga termasuk amalan mulia. Disini, kami akan selalu terbuka untuk kamu. Sampai kamu merasa siap."

Kalimat yang disampaikan oleh Prof. Agus pada saat itu selalu terpatri dalam pikiran Ridho. Bahwa, orang sepertinya masih mempunyai kesempatan untuk meraih cita-cita. Di saat masih banyak di luaran sana yang memiliki stigma terhadap para penyintas sepertinya, beliau begitu baik membukakan peluang baginya. Ridho sangat mensyukuri itu.

Selama perjalanan menuju Indonesia, seseorang itu selalu memenuhi pikiran Ridho. Tidak pernah seharipun terlewat oleh Ridho, tanpa memikirkan perempuan itu. Bagaimana raut kecewa dan tangisnya yang tak mampu Ridho hentikan setelah memutuskan hubungan.

Sebut saja Ia pecundang karena sudah membuat perempuannya menangis. Yang bisa Ridho lakukan hanyalah mengutuki dirinya sendiri, yang merasa tidak pantas untuk menjadi pendamping seorang Arabella Nisrina.

Virus itu tidak hanya membuat seorang Ridho Aryasatya harus melepaskan mimpinya sebagai dokter, tapi juga membuat seorang Ridho Aryasatya harus melepaskan seseorang yang sangat dicintai olehnya.

-

Fakultas tempatnya menimba ilmu selama bertahun-tahun itu tampak ramai dengan orang-orang yang berpakaian rapi juga beberapa karangan bunga berjajar saat Ridho melintasi koridor. Ridho terkejut saat membaca salah satu tulisannya. Ternyata, Gurunya, hari ini akan dilantik menjadi Dekan di Fakultas Kedokteran.

Teriakan dari seseorang membuat Ridho mengalihkan pandangan dari karangan bunga, ternyata orang yang memanggilnya adalah Mas Priatno, atau akrab disapa Mas Pri.

Mas Pri langsung memeluk Ridho begitu pemuda kebanggaan Fakultas Kedokteran itu ada di hadapannya. Ridho cukup terkejut dengan tindakan spontan Mas Pri, karena sejauh ini, beberapa orang yang ditemuinya tampak menjaga jarak saat berhadapan dengan Ridho.

Setelah saling menanyakan kabar masing-masing, Mas Pri menceritakan kalau hari ini acara pelantikan Prof. Agus di aula. Kemudian dengan semangat mengajak Ridho pergi ke aula, karena acara akan dimulai 10 menit lagi.

"Para pejabat masih persiapan di Fakultas, Dho." Ujar Mas Pri saat melihat jajaran kursi depan masih kosong.

"Saya tunggu di luar saja, Mas Pri. Bukan tamu undangan."

"Ya sudah. Mari, saya temani."

Ridho melipir ke taman depan aula, berniat menyembunyikan dirinya. Hari ini pelantikan Prof. Agus, tidak menutup kemungkinan Nisrina akan hadir di acara penting Papinya. Hal itu membuat Ridho semakin gugup. Ridho terus memikirkan kalimat apa yang harus dia ucapkan ketika pertemuan itu terjadi, sampai mengabaikan Mas Pri yang sedang memberitakan kejadian di FK setahun belakangan.

Meant to Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang