Lika-Liku

531 51 0
                                    

Langkah kaki semakin kupercepat begitu pengumuman keberangkatan kereta terdengar di seluruh penjuru stasiun. Petugas KAI membantuku menaikan koper ke kereta. Setelah aku mengucapkan terima kasih, kereta mulai bergerak, membuatku bergegas mencari kursiku.

Aku menaruh sling bagku terlebih dahulu di kursi, sebelum menaikan koper ke bagasi. Rupanya seseorang membantuku lagi menaikan koper.

“Terima ka—,” aku mematung begitu menyadari sosok di hadapanku sekarang.

“Halo, Nis. Udah selesai sembunyinya?”

Senyuman itu membuat mataku memanas. “Hei, kok malah nangis?” Agam langsung merangkulku dan mendudukanku di kursi. Kemudian mendekap tubuhku. “Maaf, Nis. Maaf.” Agam terus-menerus menggumamkan kata maaf, sambil menciumi puncak kepalaku.

“Waktu itu, Fania dimarahin suaminya. Dia nggak terima karena aku ikut campur. Ya, udah. Jadinya pukul-pukulan.” Agam memulai ceritanya ketika aku sudah sedikit tenang. “Maaf, aku meluk Fania waktu itu. Aku cuma nggak bisa lihat perempuan disakiti begitu. Aku keinget Bunda, Syifa, inget kamu.”

Kalimat terakhirnya membuatku semakin mengeratkan pelukan pada Agam. “Aku kira kamu bakal ninggalin aku, terus balik ke Fania.”

Badannya sedikit bergetar karena terkekeh. “Nggak mungkinlah, Babe. Dia udah punya suami.”

Aku melonggarkan pelukan untuk menatap matanya. “Kamu bisa ada disini, gimana?”

“Aku beberapa kali ke rumah kamu, kosong terus. Nyamperin Tia, aku dimaki-maki. Akhirnya aku nemuin Papi kamu ke kampus. Terus Papi bingung, kenapa aku nggak tau kamu pergi. Kamu nggak bilang ke orang tua kamu, ya?”

Aku menggeleng kemudian menyandarkan kepalaku di dadanya lagi. Air mataku menetes lagi, membuat Agam terkekeh.

Diantara tangisanku, Agam bernyanyi lirih. Membawakan lagu yang sama dengan di restoran waktu itu, membuatku tak sadar memejamkan mata dan terlelap.

-

Tia melipat tangan di dada begitu menemukan aku yang sedang bergandengan tangan dengan Agam.

Suasana di dalam mobil cukup mencekam karena Tia belum mengeluarkan suaranya sama sekali sejak berpamitan dengan Agam tadi. Bahkan sampai aku sedang membongkar koper di kamarku, Tia belum bersuara juga.

“Ya ampun!” aku terlonjak saat Tia tiba-tiba berteriak. Saat ini dia sedang duduk di sofa menghadapku. “Ngomong dong, Nis. Malah ikut diem.”

Okay. Tia butuh penjelasanku sekarang. “Agam nyusulin gue ke sana, Ti. Tapi kita ketemunya di kereta pas pulang tadi. Dia juga udah jelasin yang waktu itu. Intinya, dia nolongin Fania yang dimarahin sama suaminya.”

“Dimarahin?” Sebelah alis Tia naik.

“Iya. Suaminya Fania maki-maki depan umum. Waktu itu Agam mukulin suami Fania karena dipukul duluan.”

“Terus. Yang Agam meluk Fania itu gimana?” cecar Tia.

Aku tidak langsung menjawab pertanyaan itu, karena hatiku masih terasa tidak nyaman saat mengingat kembali pelukan Agam dan Fania. “Ya… Cuma empati Agam aja itu.”

Meskipun Agam sudah menjelaskan, kalau hal itu beralaskan atas dasar kasihan. Tetap saja rasa sakit hatiku pernah ada.

“Nis, gue ikut seneng kalo udah clear semuanya. Semoga aja bener-bener beres, ya.”

-

Kak Alex
(12.40) Sebulan lagi, kekejar dong, ya.

Meant to Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang