Silam

549 46 0
                                    

Sebuah penelitian yang melakukan pencitraan fMRI tahun 2010 dalam The Journal of Sexual Medicine menemukan bahwa hanya membutuhkan seperlima detik bagi otak untuk bisa melepaskan zat kimia saraf yang menyebabkan kita merasakan sensasi yang terkait dengan cinta. Bahkan, jatuh cinta bisa dimulai hanya dengan bertatapan mata antara dua orang yang saling berhadapan.

Fenomena itu pernah aku alami ketika berhadapan dengan seorang Ridho untuk pertama kalinya. Awalnya, mungkin hanya bentuk ketertarikan secara fisik. Setelah aku mengenalnya, aku semakin dibuat jatuh dengan caranya berbicara serta caranya bersikap pada orang-orang disekitarnya. Terlihat yakin dan percaya diri tanpa membuat rendah lawan bicaranya, membuat Ridho semakin bersinar di mataku.

Malam ini, Ridho tampak lain. Ridho terlihat ragu dengan langkahnya. Kepalanya sedikit menunduk, dengan tatapan tertuju pada lantai, bahkan tangannya sedikit mengepal di samping tubuhnya. Badannya juga menjadi lebih kurus dari pertemuan terakhir kami, setahun lalu.

"Duduk sini, Dho." Papi menepuk kursi di samping bed. Kemudian pamit menemui Mami, katanya ingin memberi kami waktu untuk bicara.

"Kalo kamu nggak mau aku disini, aku bisa pergi." Ujar Ridho dengan posisi masih berdiri di samping kursi.

"Kenapa kamu bisa punya anggapan kalo aku nggak mau ketemu kamu?" tanyaku.

Ridho terdiam sebentar sambil memandangku. "Kamu selalu kabur tiap ketemu aku."

"Emang siapa yang pergi ninggalin duluan?" pertanyaanku membuat Ridho tersentak, matanya sedikit membesar.

"Aku minta maaf, Nis. Aku tahu, ini memang terlambat, but I am really really sorry." Ridho menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Ini, mungkin terdengar seperti pembelaan. Tapi, setelah dinyatakan positif, duniaku hancur. Memikirkan hidupku ke depan membuat aku merasa takut. Kalau aku meneruskan mimpi sebagai dokter, apa masih ada pasien yang mau terima keadaan aku dengan stigma yang melekat pada penderita HIV AIDS. Rasa takut ditolak oleh orang-orang sekitar itu terus-menerus datang, aku juga terlalu malu untuk menemui kamu. I'm so desperated.

Beruntungnya, aku bertemu dengan orang yang tepat waktu itu. Aku ketemu ODHA, dia sepupu Vina. Aku belajar banyak dari dia. Dia bilang, hal pertama yang harus aku lakukan adalah untuk menerima diriku sendiri. Self love.

Disaat aku berpikir, pintu sudah tertutup untuk melanjutkan mimpi. Papi kamu menunjukan, masih banyak pintu lainnya yang bisa aku buka. Ketika melihat kamu, semua rasa percaya diriku hilang. Kalau aku tidak segera melepas kamu, mungkin aku hanya akan menyakiti kamu, karena untuk mencintai diri sendiri saja terasa sangat sulit untuk aku. Jadi, aku cukup tahu diri kalau kamu tidak mau menerima permintaan maafku, Nis."

Pipiku sudah basah begitu mendengar kalimat terakhir dari Ridho. Selama ini aku terlalu egois menginginkan Ridho untuk menjadikan aku tempatnya berbagi, disaat dia saja sedang berusaha menerima dirinya sendiri. "Dho..." panggilku dengan suara parau. "Duduk. Kamu nggak pegel berdiri terus?"

Ridho tersenyum, kemudian mengusap sudut matanya sebelum mendudukan diri di kursi. Tangisku pecah, membuatku menutup muka dengan kedua tanganku. Aku merasa malu karena selama ini menganggap Ridho yang paling menyakiti aku. Nyatanya, rasa sakitku tidak ada apa-apanya dengan apa yang dialami oleh Ridho.

-

"Jangan biarin perut kamu kosong ya, Srin."

"Iya, Mi."

"Kalau ada apa-apa langsung hubungi Mami atau Papi."

"Iya, Mi... Mami udah bilang itu seratus kali loh."

"Lebay ah, kamu. Baru juga tiga kali. Tuh mobil Tia udah kelihatan." Mami menunjuk mobil Mazda merah yang memasuki area penjemputan.

Siang ini, aku sudah diperbolehkan pulang ke rumah setelah menghuni rumah sakit selama seminggu. Tia dengan senang hati menjemputku, karena Mami dan Papi sedang sibuk hari ini.

Meant to Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang