Pagi-pagi sekali, Adri sudah berada di tempat penginapan kami.
Bukan. Bukan karena terlalu bersemangat akan pergi denganku. Tapi Adri sekalian mengantar adiknya yang bekerja di sini, sebelum nanti agak siang menemaniku pergi offroad.
Jadi begini, guys. Pertemuan kemarin sore itu terjadi saat Adri hendak menjemput Lania yang bekerja di tempat penginapan ini. Lania itu seumuran denganku, btw. Kemarin kami mengobrol cukup banyak. Sampai pada pembahasan tempat wisata yang akan kami kunjungi, Papi mencetuskan ide supaya aku pergi offroad dengan Adri.
Dan di sinilah aku berada, diboncengan Adri menuju meeting point keberangkatan.
Rasanya sedikit canggung, karena Adri itu manusia yang hanya membicarakan hal-hal penting. Itu sih yang aku amati selama dia ngobrol sama Papi. Apalagi ditambah pertemuan kami sebelum-sebelumnya yang kurang mengenakan.
Lagian, Papi tega banget. Kalo tau gini, mending sendiri aja.
Belasan Land Rover sudah berjejeran begitu kami sampai di meeting point. Aku mengekori Adri menghampiri orang-orang yang ternyata dikenalnya.
Aku merasa menyedihkan, sendirian, berada di antara orang-orang yang mengobrol dan saling bercanda bersama teman-teman perjalanannya.
"Kenapa? Takut?"
"Hah? Eh. Oh. Nggak, nggak" Nggak ada yang ngajak ngobrol aja.
Adri memperkenalkan aku dengan beberapa temannya. Kemudian aku terkejut melihat Adri yang akan membuka pintu kemudi.
"Hah? Kok kesitu?" kening Adri mengerut mendengar pertanyaanku.
"Kalo mau nyetir ya masuknya lewat sini." Adri menjawab santai kemudian duduk dengan tenang menggunakan seat belt di balik kemudi, meninggalkan aku yang melongo menatapnya.
Kang Iman -teman Adri- yang berdiri di sampingku terkekeh. "Tenang aja, Teh. Kang Adri mah jagonya. Kalo nggak jadi dokter tentara pasti bakal jadi pembalap F1. Teteh duduk depan aja, di belakang laki-laki semua."
Tapi, kan. Track offroad sama F1 beda, Njul!
Klakson mobil membuatku terlonjak.
"Jadi ikut, nggak?" Adri bertanya melongokan kepalanya lewat jendela samping.
Aku langsung berlari memasuki mobil.
"Sabuknya pakai." Titah Adri begitu aku duduk di sampingnya.
"Iya. Ini juga mau dipakai."
Setelah selesai memasang seat belt, aku langsung duduk tegak dan menghembuskan napas sambil melihat ke depan. Dapat kudengar kekehan dari arah sampingku.
"Tegang banget. Tenang aja. Masalah ginian, saya jagonya."
Aku hanya berharap apa yang diucapkannya bukan kebohongan.
Rombongan kami sudah mulai memasuki jalan raya. Sepanjang jalan, tak sedikit orang-orang yang melirik kami. Mungkin bertanya-tanya, rombongan apa ini.
Kendaraan dan orang-orang di sekitar perkebunan teh cukup padat karena sekarang hari libur. Banyak pengendara motor yang sengaja berhenti untuk mengambil foto. Ada juga yang sampai duduk menggelar tikar di antara pohon-pohon teh yang masih tampak berembun sambil menikmati bekal yang mereka bawa.
"Hati-hati ponselnya jatuh." Adri berkomentar saat aku menjulurkan ponsel ke luar jendela, merekam kebun teh di samping kiriku.
"Nggak bakal jatuh. Pake ini." Aku menunjukan lanyard yang menggantung di leherku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meant to Be Loved
RomanceNisrina pikir, kepergian Ridho adalah akhir dari segalanya. Ternyata, itu adalah gerbang pembuka untuk kisah-kisah lain yang menantinya di kemudian hari.