Titik Temu

561 46 0
                                    

Titik-titik sisa air hujan di jendela samping kiri sedikit memburamkan penglihatanku pada pemandangan di luar sana.

Sudah satu jam kereta ini meninggalkan Stasiun Bandung. Untuk sampai di Stasiun Plered masih membutuhkan waktu sekitar satu jam lebih.

Sementara itu, orang yang mengajakku berkereta hari ini sudah tertidur di sampingku. Semalam, Agam menyelesaikan pekerjaan sampai tengah malam. Alhasil, siang ini Agam masih mengantuk.

Biasanya setiap bepergian cukup jauh, baik menginap atau tidak, saat keberangkatan aku jarang mengantuk karena merasa excited ingin cepat sampai tempat tujuan. Barulah saat perjalanan pulang aku akan tertidur karena kelelahan.

Kepala Agam terhitung sudah nemplok di bahuku selama 15 menit, sekarang bahuku sudah mulai kesemutan. Tapi aku tidak tega juga kalau membangunkan Agam.

Beruntungnya, penumpang siang ini tidak terlalu ramai. Jadi, kursi di hadapan kami kosong. Di telingaku, mengalun sebuah lagu yang sudah terputar berulang-ulang.

Aku tersentak saat earphone sebelah kananku ditarik dan beralih ke telinga Agam, sementara yang melakukannya hanya terkekeh tanpa dosa.

Tidak ada yang bersuara di antara kami, seolah-olah sedang meresapi lirik lagu.

Saat ku tengok lagi jendela di sampingku, matahari sudah kembali menyinari bumi.

And then when I’m away, I’ll write home everyday

And I’ll send all my loving to you

I’ll pretend that I’m kissing the lips I am missing

And hope that my dreams will come true

-

Aku terperangah begitu 30 tusuk sate disajikan di hadapanku dengan Agam. “Bener-bener ngidam ya, Gam.”

Agam tertawa mendengar sindiranku kemudian mengambil satu tusuk sate dan memakannya sekaligus. Kelakuan Agam membuatku geleng-geleng kepala.

Semua meja di tempat makan ini sudah penuh terisi. Mereka semua tampak menikmati makan siang yang sudah kesorean ini.

Setelah mengedarkan pandangan ke sekeliling bangunan ini, pandanganku tertuju pada Agam yang ternyata sedang tersenyum menatapku. Aku langsung melahap saat Agam menyuapiku sate yang sudah Agam pisahkan dari tusukannya.

Rasa pedas manis yang memenuhi rongga mulut membuatku manggut-manggut. “Enak.” Ucapku sambil mengacungkan jempol.

Satu jam kemudian, Aku dan Agam sudah duduk berdampingan di kursi tunggu Stasiun Plered menunggu kereta yang akam membawa kami pulang ke Bandung.

Hari sudah gelap ketika akhirnya kita duduk di kereta.

Sudah aku bilang, kan. Di perjalankan pulang aku suka tertidur. Baru saja duduk lima menit mataku sudah berat, apalagi perutku dalam keadaan penuh. Agam juga tidak mengajakku bicara, mungkin dia tahu aku sudah mengantuk.

Aku terperanjat saat merasakan anjlokan kecil.

“Kenapa, Nis?”

Pertanyaan Agam membuatku mengerjap, kemudian menyadari kalau aku tertidur di bahunya. "Jam berapa, Gam?” tanyaku dengan suara serak khas bangun tidur.

Agam tertawa kecil melihatku. “Sini, tidur lagi aja, masih lumayan lama.” Agam menarik kepalaku untuk bersandar di bahunya lagi, kemudian membenarkan posisi jaketnya yang Ia sampirkan di tubuhku.

“Kamu nggak dingin, Gam?” aku baru menyadari, kalau Agam jadi hanya memakai kaus pendek saja.

Agam menggeleng sebagai jawaban.

Meant to Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang