Extra Part : Hari Raya

796 54 0
                                    

"Masih mual, Teh?"

Nisrina menoleh ke arah pintu kamar dan mendapati sepupunya sedang berjalan menuju tempat tidurnya. "Hey, iya nih masih mual. Lagi pada ngapain di luar? A Adri udah makan belum, Kak?" tanyanya beruntun. Nisrina terpaksa membiarkan sang suami mengurus keperluannya sendiri, karena sejak semalam tiba di rumah, ia merasa tidak enak badan.

"Lagi ada tamu dosen-dosen," jawab sang sepupu sambil mendudukan diri di samping Nisrina. "A Adri udah makan ketupat kok tadi sama Papa, Papi. Tapi sekarang lagi cari apotek, disuruh sama Mami beli test pack," lanjutnya.

"Hah? Buat siapa?"

"Buat Teh Srin lah, masa buat Ateu."

"Tapi aku dapet, Kak."

"Darah yang keluar cuma bercak aja, kan?" Perempuan muda bernama Almita atau akrab dipanggil Kakak itu tersenyum ketika yang ditanya menganggukkan kepala, kemudian ia memegang tangan Nisrina. "Itu bisa aja pendarahan implantasi. Setelah ngobrol-ngobrol keluhan Teh Srin tadi, mereka langsung nyimpulin 'oh, kayaknya Mami sama Papi bentar lagi mau jadi Kakek-Nenek', gitu. Tapi hebohnya ketunda, keburu ada rekan-rekan Papi dateng."

"Apa iya, Kak?" tanya Nisrina tak yakin.

"Ya buat lebih yakinin lagi, Teteh harus tes dulu. Terus lebih lanjutnya ke dokter."

Senyuman manis otomatis mengembang di bibir Nisrina, ia pasti akan sangat bahagia apabila dugaan kedua orang tuanya benar. Oh, ia juga tidak sabar melihat respon sang suami. Rasa gugup juga mulai merambatinya secara perlahan, membuat ia semakin mengeratkan pertautan tangan dengan sepupunya. "Kok aku deg-degan ya, Kak?"

"Pantesan tangannya jadi dingin begini," jawabnya sambil terkekeh geli, membuat Nisrina tertawa. 

"Kak, aku kira bakalan cuma aku aja yang keluar dari jalur keluarga," kata Nisrina setelah tawanya berhenti. "Kamu senang sama pilihan kamu?" Pertanyaan itu membuat Almita tersenyum simpul.

"Yah kupikir juga begitu. Apalagi Alifa ikutan ngambis juga dari sekarang," jawabnya. "Tapi ternyata, Teh, pilihan aku sekarang nggak kalah menyenangkan. Setiap hari aku nemu hal-hal baru yang bikin aku semakin takjub dengan Kebesaran Allah," lanjutnya.

Nisrina tersenyum lega melihat sepupunya bersemangat menceritakan pengalaman-pengalaman baru yang ditemukan di bangku perkuliahan. Tahun lalu, keluarganya sempat dikejutkan dengan perubahan yang terjadi pada sang sepupu. Selain tiba-tiba mengubah pilihan kelanjutan studinya, Almita juga berubah menjadi pribadi yang lebih pendiam dan tertutup.

Nisrina pastinya merasa sangat kehilangan sosok ceria dalam diri Almita. Oleh karena itu, ia bersyukur menemukan kembali raut bahagia di wajah sepupunya saat ini.

Obrolan keduanya terhenti ketika Adri muncul di kamar. Membuat Almita pamit keluar dan Nisrina segera meluncur ke kamar mandi setelah menerima benda-benda dari tangan sang suami.

Di tempat tidur, Adri mulai cemas setelah menunggu hampir 20 menit lamanya. Ia memutuskan untuk bangkit dan menghampiri pintu kamar mandi, kemudian mengetuknya pelan. "Istriku sayang, ada apa? Kok lama? Aa boleh masuk? Kita lihat sama-sama, ya?" tanyanya beruntun.

Sepuluh detik kemudian, pintu kamar mandi dibuka dari dalam, memunculkan sosok Nisrina yang tertunduk lunglai berusaha menyembunyikan matanya yang memerah.

Adri yang menyadari istrinya menangis langsung merengkuh tubuh ringkih itu ke dalam pelukan hangat. "Sayangku... Cintaku... Istriku... It's okay, it's okay. Masih belum rezeki. Kita masih bisa berusaha lagi ya. Aa siap begadang lagi tiap malam sama kamu. Besok di Ciwidey kita nginep di vila aja ya, biar kita bebas, gaada gangguan. Pagi, siang atau bahkan sore juga Aa siap seminggu ini. Sekarang kamu harus sehat dulu biar fit buat bikin anak— ADUH," ucapan Adri terhenti ketika pinggangnya dicubit oleh Nisrina.

"Aku mau dipanggil Ibu aja, ya. A Adri nggak apa-apa kan dipanggil Bapak?" Nisrina berkata cepat dengan suara parau.

"Gimana, Sayang?" tanya Adri tak paham. Ia sampai menarik kepalanya ke belakang dengan tangan masih melingkari pundak dan pinggang sang istri, untuk meyakinkan pendengarannya.

"Positif," bisik Nisrina sambil tersenyum. Hanya itu yang mampu ia ucapkan, karena ia sedang berusaha menahan air mata yang akan menyeruak lagi.

"Positif?" Adri membeo tak percaya. Ketika mendapati istrinya mengangguk dengan mata berkaca-kaca, ia langsung memberi kecupan di setiap wajah sang istri dan memeluknya semakin erat. "Ya Allah... Alhamdulillah. Terima kasih, Sayang. Terima kasih untuk hadiah terbaik ini, Ya Allah," ucapnya sebelum mencium lembut bibir sang istri, menyalurkan kebahagiaan yang membuncah tiada kira.

"Punten... Gimana nih? Aku beneran jadi nenek di umur dua puluhan?" Suara dari arah pintu kamar membuat kemesraan sepasang suami istri terinterupsi. Nisrina menarik diri terlebih dahulu, dan menemukan tantenya tersenyum jahil di ambang pintu.

"Ateu, siap-siap dipanggil Nenek ya, sama anak aku."

"Anak kita," koreksi Adri.

"Eh iya, anak aku sama A Adri."

Satu detik kemudiam, seluruh keluarganya berbondong-bondong mendatangi kamar dan membuat ruangan kotak itu sesak seketika. Kabar baik dari Nisrina dan Adri semakin menambah kebahagian keluarga di tengah suka cita hari kemenangan.

Adri tak sedetik pun mengalihkan pandangan dari sang istri, dikelilingi oleh para orang tua yang saling berebut memberi doa-doa kebaikan. Kebahagiaan yang terpancar di wajah istrinya, membuat ia sangat  beryukur dan selalu ingin mempertahankan rona itu.

Nisrina membalas tatapan Adri dan memberikan senyuman terbaik untuk sang suami. Ia selalu bersyukur dikelilingi orang-orang baik disekitarnya. Nisrina semakin yakin, kalau kehadiran dirinya memang dimaksudkan untuk dicintai.

Terlebih... oleh Adri, suami yang juga semakin ia cintai di setiap detak jantungnya.

Meant to Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang