Wow.
Aku sedikit bingung untuk mengekspresikan perasaanku saat ini.
Intinya, perpaduan antara gembira, tidak sabar, haru, gugup, dan... sedikit takut?
Oke, oke. Sebenarnya rasa takutku tidak hanya sedikit, tapi cukup mendominasi keseluruhan perasaanku. Meskipun aku sudah mempersiapkan hari ini sejak jauh-jauh hari, tetap saja rasa takut itu tidak bisa dihindari.
Hal tersebut sangat wajar dirasakan oleh ibu hamil yang akan segera melahirkan, bukan?
Aku bahkan sudah dijejali banyak sekali informasi mengenai pengalaman orang-orang dalam kehamilan dan melahirkan, mulai dari membaca beberapa buku, sampai mendengarkan dan menyaksikan secara langsung dari orang-orang di sekitarku.
Dan... yang paling membekas diingatanku adalah ketika menyaksikan sendiri perjuangan sahabatku, Tia. Aku menjadi salah satu saksi dari awal kehamilan Tia yang begitu berat, sampai proses melahirkan yang sangat jauh dari kata mudah.
Baik. Tidak seharusnya aku mengingat itu di saat seperti ini. Karena sekarang rasanya kakiku mulai mendingin ketika mengingat rintihan kesakitan Tia selama mengalami kontraksi dalam persalinan.
Oke, tenang Srin. Keep calm.
Inhale~
Exhale~
Repeat~
"Sayang? Hey, ngelamunin apa?"
Aku mendongak ketika merasakan sebuah tangan membelai kepalaku. Suamiku bahkan tetap tenang meskipun istrinya baru saja membuat kekacauan.
Memang tidak sampai memporak-porandakan seisi rumah, tapi aku sangat merasa bersalah pada sofa dan karpet yang kini kebanjiran air ketubanku. Entah nanti masih bisa digunakan atau tidak. Yang jelas, sekarang aku merasa menyesal, kenapa kami tidak mencari sofa anti air jika tahu kejadiannya akan seperti ini.
Jadi begini, selama dua jam terakhir ini aku sedang menghabiskan waktu di sofa sambil menonton tayangan di TV. Sampai tiba-tiba semuanya jadi seperti sekarang ini. Beruntungnya Adri sedang berkegiatan tidak jauh dari rumah, ia langsung sigap mendatangiku.
Suamiku bahkan tidak sempat mengganti seragamnya, karena dia langsung sibuk kesana-kemari, menelpon dokter kandunganku, kemudian menyiapkan beberapa tas berisi perlengkapan melahirkan yang sudah dipersiapkan sejak minggu lalu.
Mami dan Ibu yang mewanti-wanti untuk persiapan lebih awal. Karena katanya, supaya kita siap kapan pun si bayi ingin keluar.
Ternyata dugaan kedua mamaku benar adanya, bayi dalam perutku sudah minta keluar seminggu sebelum HPL atau Hari Perkiraan Lahir.
"Hey, kok nggak jawab? Udah kerasa mulas? Jangan ditanggung sendiri, ada Aa."
Ya ampun. Karena keasyikan melamun membuat aku mengabaikan suamiku sendiri. Dia bahkan sudah berjongkok di depanku, dan menggenggam kedua tanganku. Aku mengangguk pelan dan memberinya senyuman, kemudian sedikit meremas tangan besarnya yang terasa hangat. Pegangan ini ternyata sangat aku butuhkan, karena bagian dalam perutku mulai terasa cekat-cekit.
"Maaf ya, A. Jadi basah kemana-mana," ucapku tak enak sambil menatap sofa dan karpet. Mengenaskan sekali nasib dua benda di bawahku ini.
Suamiku balas tersenyum kemudian mengecup kedua tanganku bergiliran.
"Gapapa, Sayang. Ini cuma sofa dan karpet. Masih banyak di toko," ujarnya penuh penghiburan sebelum tertawa kecil. "Sekarang ganti baju dulu ya. Baju kamu basah banget ini, nanti dikira ngompol."
Dengan penuh ketenangan ia mulai mengganti bajuku yang sangat basah. Tapi aku tahu, di balik ketenangannya saat ini, dia juga sama gugupnya denganku, sama takutnya denganku.
Tanganku terangkat untuk mengusap bulir keringat di keningnya, membuat dia mendongak sekilas dan tersenyum.
Di detik ini aku merasa bersyukur telah putus dari Ridho dan Agam. Bukan dalam artian buruk. Hanya saja, aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya, jika suamiku bukan seorang Bhadrian Arkana Putra.
Tentunya, aku juga tetap bersyukur bisa mengenal Ridho dan Agam. Mereka orang-orang baik yang memang tidak ditakdirkan untukku.
"Nah, istriku udah cantik lagi sekarang." Suamiku bersuara setelah selesai mengganti bajuku. "Yuk, sekarang berangkat. Mami sama Papi tadi baru landing, nanti katanya mau langsung ke rumah sakit. Ibu udah Aa kabarin juga, kalo ada supir nanti langsung berangkat."
Aku menahan pundaknya ketika ia hendak berdiri. Wajahnya diliputi kebingungan dan kecemasan ketika aku menangkup kedua pipinya.
"Kenapa? Sakit banget?" tanyanya yang kujawab dengan gelengan kepala. Aku harus bisa menahannya sebentar saja.
"Suamiku Sayang, makasih ya." Ucapanku membuat Adri mengangkat alisnya. "Terima kasih sudah memilihku menjadi istrimu. Aku sangat, sangat mencintai kamu." Semoga Adri mengerti betapa bersyukurnya aku bisa memiliki dia, menyayangi dia dan mencintai dia sebagai suamiku. Setiap detik yang kami lewatkan bersama, sangat berarti untukku.
"Kenapa tiba-tiba?" Dia bertanya, membuatku tersenyum malu. Karena aku jarang sekali mengucapkan kalimat tersebut. "Dengar Aa, Sayang," tangannya mengambil dua tanganku di pipinya. "Setiap cinta yang Aa beri ke kamu itu adalah bukti betapa bersyukurnya Aa memiliki kamu sebagai istri. Terima kasih sudah mempercayakan Aa sebagai suamimu. Maaf jika Aa belum bisa atau bahkan tidak bisa menjadi suami sempurna untukmu. Maaf jika Aa tanpa sadar menegur kamu secara berlebihan. Jangan pernah sungkan untuk mengingatkan Aa jika ada salah. Jangan merasa bosan dulu hidup bersama Aa, karena masih banyak detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun yang ingin Aa habiskan bersama kamu dan anak-anak kita. Hal terpenting yang harus selalu kamu ingat yaitu, Aa selalu mencintai kamu di setiap detak jantung ini." Satu tangannya membimbing tanganku ke dadanya, tepat ke tempat jantungnya bersarang. Sementara tangan yang lainnya ia gunakan untuk mengusap pipiku yang basah oleh air mata kebahagiaan.
Sungguh, aku gak bisa lagi menahan limpahan air mata begitu Adri mencium keningku saat ini. Di tengah rasa mulas yang aku alami, hatiku menghangat mendengar perkataannya barusan. Mencintai dan dicintai orang yang tepat itu sangat indah dan menyenangkan.
"Permisi, Pak, Bu, mobilnya sudah siap."
Suara dari luar rumah menghentikan momen haru di antara kami, menyadarkan kami kalau di dalam perutku masih ada bayi yang harus segera keluar. Setelah menjawab suara itu, Adri kembali fokus padaku. Kedua tangannya membelai sisi kepalaku perlahan.
"Sekarang kita berjuang sama-sama, ya. Jangat takut, ada Aa di sisi kamu. Semua akan baik-baik saja," ucapnya sebelum berdiri.
"Sini pegangan, jangan dilepas ya." Adri melingkarkan tanganku ke lehernya, lalu membawa tubuhku keluar rumah menuju mobil.
Satu hal yang belum sempat aku katakan padamu, Suamiku.
Bahwa apapun rintangan yang menunggu di depan sana, semua akan terasa mudah selama melaluinya bersama kamu, Suamiku Tersayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meant to Be Loved
RomanceNisrina pikir, kepergian Ridho adalah akhir dari segalanya. Ternyata, itu adalah gerbang pembuka untuk kisah-kisah lain yang menantinya di kemudian hari.