That you were Romeo, you were throwin' pebbles
And my daddy said, "Stay away from Juliet"
Taylor Swift - Love Story
***
Tangan Agam semakin memeluk erat pinganggku dan sesekali mengusapnya saat ciumannya semakin bertambah intens. Agam melepaskan pertautan kami, memberiku kesempatan untuk menarik napas. Jemarinya membelai pipiku lembut, kontras dengan matanya yang menatapku tajam di antara deru napasnya yang terengah.
"Srin!"
Panggilan dari Mami, membuat rencana Agam ingin menciumku lagi gagal. Kami buru-buru saling menjauh dan refleks membenarkan penampilan yang ternyata cukup acak-acakan. Bahkan, blus motif bunga yang kugunakan sudah mencuat keluar dari kungkungan rok.
Dengan posisi yang masih membelakangi Mami, aku memejamkan mata dan mengigit bibirku -yang rasanya agak membengkak. Tanganku menggenggam pinggir meja bar erat, berusaha mencari kekuatan. Rasa takut dan malu mendominasiku saat ini.
Agam sudah bangkit dari duduknya, kemudian berdeham sebelum menyapa dan menyalami Mami.
"Agam sudah lama di sini?" suara Mami yang terdengar persis dibelakangku membuatku semakin mengencangkan pegangan, mungkin telapak tanganku sudah memerah.
"Lumayan, Tante. Sejak hujan turun deras, tadi." Jawab Agam.
"Srin." Tepukan Mami membuatku mengerang dan menelungkupkan kepala ke meja bar. "Ini anak. Mami ajak ngomong malah ngebelakangin gini." Tawa Agam terdengar setelah gerutuan Mami.
"Ya sudah. Nak Agam, mending kita ke depan duluan, biar Srin buatin minum dulu." Kemudian tangan Mami menepuk pundakku lagi. "Bawa ke depan ya nanti minumannya." Titahnya yang ku balas dengan gumaman.
Setelah memastikan tidak terdengar lagi langkah kaki Mami dan Agam, aku membiarkan badanku menggelosor ke lantai. "Habis sudah gue, malam ini." Ratapku.
Di perbatasan ruang tengah menuju ruang tamu, aku menghentikan langkah sejenak. "Calm down, Bella! Calm down!" ucapku sambil menarik dan menghembuskan napas beberapa saat.
Mami dan Agam menghentikan perbincangan begitu aku menghampiri mereka sambil membawa baki berisi tiga gelas jus.
Suara mesin mobil terdengar saat aku mendudukan diri di sofa. Sepertinya Papi. Aku sedikit bersyukur bukan Papi yang menyaksikan adegan tadi. Entah aku akan selamat atau tidak, jika itu Papi.
Mami langsung menyambut kedatangan Papi ke teras. Di ruang tamu aku dan Agam berpandangan. Agam tampak tenang duduk di sebrangku, di saat aku ingin menangis sekarang juga. Ia mengarahkan jarinya ke sudut bibir hingga terlihat senyumannya yang menawan, bermaksud menyuruhku untuk tersenyum. "It's okay." Agam menggerakan bibirnya tanpa mengeluarkan suara.
Dengan susah payah, aku menarik kedua sudut bibirku membentuk senyuman. Semoga usahaku tersenyum terlihat ikhlas.
Kenapa pula Mami dan Papi belum masuk juga. Apa Mami sedang mengadukan kelakuanku pada Papi. Mati aku! Kalau itu benar terjadi.
"Gam-" baru saja aku ingin memulai percakapan dengan Agam, sosok Papi diikuti Mami memasuki ruang tamu.
"Jadi yang ini Agam itu, Srin?" Agam sempat melirikku sebentar, sebelum berdiri menyalami Papi.
"Malam, Om. Saya Agam."
"Ya, ya, Agam." Papi mengangguk dan menepuk pundak Agam. "Pantas saja Srin bucin sama kamu dari SMA. Ganteng begini ya, Mi?"
Papi ini, ya, bener-bener! Harusnya aku nggak pernah ngasih tau Papi apa itu 'bucin'. Lihat! Sekarang mereka malah sibuk membongkar aib anaknya sendiri, tidak menghiraukan pelototanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meant to Be Loved
RomanceNisrina pikir, kepergian Ridho adalah akhir dari segalanya. Ternyata, itu adalah gerbang pembuka untuk kisah-kisah lain yang menantinya di kemudian hari.