Dua hari kemudian, aku mulai gelisah karena Adri tidak juga membalas pesanku. Bahkan membacanya saja belum. Saat aku telpon, nomornya bahkan tidak aktif. Bikin khawatir saja.
Tidak biasanya Adri seperti ini.
Aku memandang kesal sebuah lukisan yang aku temukan dua hari lalu di gudang. Rasanya, aku ingin mencabik-cabik sosoknya yang tampak kurus di lukisan ini.
Adri yang dulu berbeda dengan Adri yang sekarang. Dulu, Adri kurus. Sekarang, Adri memiliki tubuh tegap berotot. Sehingga, aku tidak langsung mengingat Adri dipertemuan kami setelah 10 tahun lebih.
Esok harinya, aku memutuskan untuk bertemu dengan Via untuk mencari jawaban. Kami janjian setelah jam kuliah Via selesai sore hari.
Sore ini, aku sudah di duduk di salah satu kedai dimsum yang ada di dekat kampus Via.
Suara tarikan kursi membuat aku mengangkat kepala dari ponsel yang sedang memperlihatkan roomchatku dengan Adri.
“Hi, Kak. Banyak banget pesanannya.” Ujar Via setelah mendudukan dirinya di sebrangku. Matanya menyapu meja yang ada di hadapannya, membuat aku ikut melihat berbagai macam menu dimsum yang diwadahi dalam kukusan rotan.
Aku meringis saat menghitung klakat itu ada 16 wadah, tadi memang langsung memesan saja semua varian. “Aku kalap liat semua gambarnya di menu.” Kataku sambil menyengir.
Via tertawa mendengar ucapanku. “Gapapa, sih, Kak. Anak kos macam aku seneng-seneng aja kalo dijajanin makanan enak. Aku makan ya, Kak.” Via mulai memegang sumpit dan menyantap dimsum. “Mmm.. Kak, ini siomay ayamnya nggak pernah gagal, cobain deh.” Ujar Via dengan mulut sedikit mengembung.
Aku mengikuti Via mengambil siomay ayam yang ternyata memang enak sekali rasanya. Selanjutnya aku terus melahap semua varian dimsum sesuai petunjuk Via.
“Tapi ini worth it, sih, Vi. Murce.” Kataku sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kedai yang dipenuhi oleh muda-mudi ini.
Via menganggukan kepala. “Iya. Pasarannya kan anak kuliahan. Pas, lah. A Adri juga suka jajan ke sini.”
Gyoza yang sudah di depan mulut tidak jadi aku lahap saat mendengar Adri disebut. Hampir saja aku lupa pada tujuan karena terlena dengan dimsum ini.
Aku menyimpan gyoza itu ke tempatnya, kemudian melirik Via yang masih asik dengan dimsumnya sambil mengetik sesuatu di ponselnya.
“Vi.”
“Iya, Kak?” Via langsung menyimpan ponselnya di meja, lalu memusatkan perhatiannya padaku.
“Adri ada kabarin kamu nggak, sejak hari minggu?” Via sedikit mengerutkan keningnya, matanya melirik ke atas, tanda sedang berpikir.
“Minggu Aa ngabarin, sih, di grup keluarga, katanya nggak bisa ke sunatan cucu Uwa soalnya harus ke undangan temennya Kak Srin. Oh iya, Kak. Gimana udah lihat mobilnya A Adri? Katanya mau sekalian kasih surprise ke Kakak.” Aku sangat terkejut mendengar informasi dari Via. “Kaget banget, kan? Akhirnya si Aa beli mobil juga. Harus punya calon istri dulu baru beli. Iya, kan, Kak?” ucap Via sambil menepuk tangannya kegirangan.
“Hah? I-iya, kaget banget.” Saking nggak taunya.
Apa tadi? Adri ke undangan temenku? Temenku yang menikah di hari minggu cuma Tia. Tapi aku tidak melihat Adri sedikit pun. Terus, beli mobil?
Waah, muke gile lu, Njul! Malah ngilang kayak gini. Awas lo, ya! Gue bales!
-
Pagi hari sekali, Adri sudah memarkirkan mobilnya di depan gerbang rumah Prof. Agus yang anaknya sudah dia lamar dua minggu lalu.
Seharusnya mobil ini sudah diketahui oleh Nisrina sejak hari pernikahan sahabatnya. Adri berencana memberi kejutan dengan tiba-tiba datang ke resepsi Tia, kemudian menunjukan mobil yang baru dibelinya ini kepada Nisrina. Begitu rencananya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meant to Be Loved
RomanceNisrina pikir, kepergian Ridho adalah akhir dari segalanya. Ternyata, itu adalah gerbang pembuka untuk kisah-kisah lain yang menantinya di kemudian hari.