Netraku mencari-cari Bu Sofja yang biasanya sudah tiba 15 menit sebelum kelas dimulai. Tapi, sampai kelas di mulai. Bu Sofja tidak datang juga.
Ternyata Bu Sofja sedang sakit. Chef Mondy yang mengumumkan saat kelas dimulai.
Setelah kelas selesai, aku memberanikan diri untuk menanyakan detail kondisi Bu Sofja kepada Chef Mondy.
"Bu Sofja kena tifus sejak hari senin. Beliau dirawat di rumah sakit. Kalau mau jenguk, saya share alamatnya." Kata Chef Mondy.
"Boleh, Chef."
Tak lama, pesan dari Chef Mondy masuk. "Sudah ada, Chef. Terima kasih banyak, Chef."
"Okay. Hati-hati, ya. Salam untuk Bu Sofja."
Setelah pamitan dengan Chef Mondy. Aku mulai memikirkan buah tangan apa yang cocok aku bawa untuk menjenguk Bu Sofja.
Ingat. Aku menjenguk Bu Sofja karena khawatir dengan kondisinya yang sampai dirawat inap. Selain itu, beliau juga selama ini sangat baik padaku. Rasanya tidak enak apabila aku tak acuh dengan Bu Sofja.
-
Bu Sofja tampak terkejut dengan kehadiranku. Beliau menyambutku dengan semangat. Sepertinya keadaannya Bu Sofja sudah membaik. Syukurlah.
Untuk pertama kalinya, aku bertemu dengan suami Bu Sofja —yang berarti ayah seseorang yang namanya tak perlu kusebut lagi—, Pak Adnan Husein.
Rupanya Pak Adnan baru datang pagi ini, setelah sebelumnya mengambil cuti untuk menemani istrinya yang sedang sakit.
Tidak seperti tampangnya yang serius, Pak Adnan orang yang humoris. Beberapa kali Pak Adnan membuat Bu Sofja dan aku tertawa karena kelakarnya.
"Masa, Nis, Yaya ngaku-ngaku kamu itu temennya. Lah, nggak ingat umur, Ya. Nisrina seumuran anak kamu, lho. Ya cocoknya jadi anak lah, bukan temen."
Perkataan Pak Adnan membuatku tertawa dan mendapatkan protes dari Bu Sofja yang mengatakan kalau Pak Adnan sirik karena tidak punya teman yang masih muda. Oh sekadar info, Yaya itu panggilan kesayangan dari Pak Adnan untuk Bu Sofja. Menggemaskan bukan?
Perbincangan seru kami terjeda oleh panggilan yang masuk ke ponsel Pak Adnan.
"Kenapa, Bang? Sudah sampai mana?"
Rasanya perasaanku mulai tidak enak. Aku pun memutuskan untuk pamit pulang.
Bu Sofja berusaha menahanku untuk bertemu anak sulungnya yang sebentar lagi sampai.
Padahal, aku pamit untuk menghindari putra beliau. Setelah memberikan berbagai alasan, Bu Sofja akhirnya mengiakan. Aku keluar dengan diiringi Pak Adnan yang mengantarku ke depan.
Mami! Papi! Maafkan anakmu yang suka membangkang ini. Belum sempat aku menggeser pintu, pintu itu sudah bergeser dari arah luar. Siapa lagi kalau bukan Agam yang melakukannya. Niat ingin menghindari, malah dipertemukan di pintu ruangan rawat inap Bu Sofja. Kami mematung sambil memegang gagang pintu dari arah yang berbeda.
"Malah pada bengong, anak muda."
Suara Pak Adnan membuat aku dan Agam serempak melepaskan gagang pintu.
"Abang, kebetulan. Neng Nis mau pulang. Anterin ya, Bang." Sahut Bu Sofja saat melihat putranya.
"Nggak usah, Bu. Saya naik ojek aja. Kasihan Agam baru sampai, pasti capek." Aku buru-buru menolak untuk diantar Agam. Tidak enak rasanya kalau harus diantar lagi.
"Nggak apa-apa kan, Bang? Sekalian pulang ke rumah. Malam ini Ayah saja yang nemenim Bunda. Kasihan adik kamu sendiri." Ujar Pak Adnan sambil mengambil alih barang-barang dari tangan Agam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meant to Be Loved
RomanceNisrina pikir, kepergian Ridho adalah akhir dari segalanya. Ternyata, itu adalah gerbang pembuka untuk kisah-kisah lain yang menantinya di kemudian hari.