Rendezvous

515 48 0
                                    

Rasa lelah menyelimuti seluruh persendian seorang pria bernamakan Bhadrika pada nametag di dada sebelah kanan seragam lorengnya. Setelah minggu kemarin menyelesaikan pendidikan dokter spesialisnya, seminggu ini, Adri —sapaan akrabnya— melaksanakan kewajibannya sebagai abdi negara. Rasa lelahnya itu terbayarkan saat melihat email berisi e-tiket tujuan kota tempat Ia dibesarkan.

Mulai besok, Adri akan memulai cutinya untuk dua minggu ke depan. Hal itu Adri manfaatkan untuk pulang ke kediaman orangtuanya di Ciwidey. Senyumannya tidak luntur juga, bahkan saat dia berada di kamar mandi untuk membersihkan diri.

Ketika badannya sudah direbahkan di kasur, pikirannya mulai berkelana, tidak sabar untuk melihat wajah terkejut Ibu dan Adik-adiknya. Adri memang merahasiakan kepulangannya dari keluarga, karena Ibunya pasti akan sibuk mempersiapkan ini-itu untuk menyambutnya. Adri hanya tidak ingin merepotkan Ibunya yang sudah tidak muda lagi.

Senyumannya semakin mengembang begitu Adri turun dari kereta api. Jam di pergelangan tangan kirinya sudah menunjukan pukul 14.20. Wildan mengabarkan sudah sampai stasiun pukul 14.00. Temannya itu dengan baik hati menawarkan menjemput Ardi di stasiun.

"Wooo, Brother! Makin keker aja!" sambut Wildan sambil menepuk-nepuk pundak Adri, seperti seorang Ayah yang bangga pada Anaknya.

"Nggak masalah nih, dokter Wildan malah jadi nganterin gue. Nanti pasien lo pada demo, dokternya nggak ada." Tanya Adri begitu mereka mulai meninggalkan stasiun.

"Halah, apa sih yang nggak buat lo. Pasien gue udah di-briefing semua. Tenang aja." Jawaban Wildan membuat Adri tertawa.

"Syukur kalo gitu. Nanti kalo capek, lo bilang aja. Kita gantian nyetir."

"Santai, Bro."

Sepanjang jalan, dua sahabat itu terus berbincang banyak hal. Mulai dari bernostalgia masa-masa pendidikan, klub bola kebanggaan mereka, sampai berbagi pengalaman masing-masing.

Adri dan Wildan merupakan sahabat seperjuangan sejak menempuh pendidikan sarjana kedokteran. Tinggal di kosan yang sama membuat tali solidaritas mereka semakinerat. Mereka sudah banyak berbagi tangis dan tawa selama perjuangan meraih cita-cita.

Di mata Adri, Wildan tidak hanya sebatas teman, tapi dia adalah saudara yang selalu ada di saat-saat terpuruk Adri. Salah satunya adalah ketika Adri merasa berada di titik terendah hidupnya saat kehilangan sosok yang begitu Ia hormati, Abah. Adri sempat ingin menyerah untuk meraih cita-citanya, dan memilih pulang kampung saja menjadi tulang punggung keluarga, menggantikan Abah. Wildanlah yang menyadarkan Adri untuk kembali melanjutkan cita-citanya. Ia mengingatkan pengorbanan Abah Adri yang sampai rela menjual perkebunan sayurnya begitu Adri lulus masuk kedokteran.

Seperti dugaannya, Ibu dan kedua Adiknya begitu terkejut melihat sosok yang selama setahun ini hanya bisa dilihat melalui foto dan panggilan video. Keesokan harinya, Wildan memboyong keluarga Adri untuk piknik di Situ Patenggang. Dengan bekal nasi timbel buatan Ibu, mereka menikmati piknik itu di pinggir danau.

Setelah menghabiskan makanan, Wildan memaksa Adri untuk pergi ke Batu Cinta. "Siapa tahu kita dapet jodoh di sana, Dri." Begitu kata Wildan. Jelas saja Adri menolak permintaan Wildan itu. Tapi, bukan Wildan namanya kalau tidak bisa membuat Adri menurut.
Dengan terpaksa Adri mengekori sahabatnya itu.

Wildan tidak henti-hentinya membicarakan banyak hal. Setelah puas melihat-lihat di Batu Cinta, Adri dan Wildan memilih kembali ke tempat Ibu dan Adik Adri menunggu saat pengunjung di sana semakin padat. Mereka tidak ikut, karena sudah beberapa kali ke tempat itu.

Di tengah ocehan Wildan, Adri mendengar seseorang di belakangnya berteriak dan menepuk pundaknya. Rupanya gadis itu mengembalikan kacamatanya yang terjatuh. Tapi buka itu fokus Adri, melainkan sosok gadis yang dulu kerap Ia temui di rumah salah satu dosennya.

Meant to Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang