Cerita Kita

852 74 0
                                    

Cuaca pagi ini seolah ikut menemani aku bersedih. Saat aku bangun tidur, mataku bengkak sekali setelah menangis semalaman. Sampai berat sekali untuk membuka mata.

Aku memilih menutup mataku lagi sambil bersandar pada headboard ranjang.

"Srin, Sayang."

Panggilan dari Papi membuatku membuka mata kembali.

"Pi..."

Air mataku berjatuhan lagi, saat Papi memelukku.

"It's okay, Sayang. Semua akan baik-baik saja." Papi menguatkanku sambil mengelus punggunggu.

"Pi, sekarang Ridho gimana?"

"Demannya sudah turun, barusan Papi dapat kabar dari Om Ridwan."

Aku semakin mengeratkan pelukanku pada Papi.

"Kuat ya, Nak. Ridho juga pasti kuat. Pasti bisa melewati semuanya." Kata Papi sambil merapikan rambutku yang acak-acakan terkena air mata.

Ridho terinfeksi karena tertusuk jarum suntik bekas pasien korban tabrakan yang mengamuk saat diberi tindakan suntikan. Pasien tersebut pengidap HIV, korban kekerasan seksual dan kerap mengalami gangguan kesemasan semenjak mendapat musibah tersebut. "Qodarullah, yang terkena jarum suntik itu Ridho karena posisinya sedang memegangi pasien."

Setelah mendengar penjelasan dari Papi, rasanya aku dapat merasakan ketakutan Ridho.

Saat ini, Ridho sedang bersama keluarganya di Jakarta.

Aku merindukan Ridho, sangat. Aku ingin menguatkan Ridho. Tapi, tidak bisa. Papi bilang, Ridho tidak ingin ditemui oleh siapapun.

"Aku kangen Ridho, Pi."

"Kita tunggu Ridho ya, Sayang." Papi semakin mengeratkan pelukannya.

-

"Kabarin Mami kalau sudah sampai tempat kursus ya, Sayang."

Setelah panggilan berakhir, aku menyimpan ponsel di atas nakas untuk bersiap-siap ke tempat kursus. Sebuah foto menghentikan pergerakanku.

Itu adalah foto aku dan Ridho yang berdiri bersisian sambil mengepalkan tangan kanan sejajar kepala. Foto pertama pada interaksi pertama kami di depan ruangan Papiku.

Saat itu, aku ingin membawa kotak bekal makan siang yang Mami titipkan kepada Papi. Saat menarik handle pintu, ternyata terkunci.

"Pak Nizarnya lagi rapat."

Sebuah suara menyadarkanku kalau di lorong ini ada yang menghuni. Tanpa diduga, seseorang tersebut adalah "The Light of Unmar", Ridho Aryasatya. Orang yang namanya banyak disebut di setiap kumpulan-kumpulan perempuan di kampus ini, saat ini ada di depanku, berbicara kepadaku.

"Duduk dulu aja. Tadi beliau nyuruh tunggu disini."

Seperti tersihir, aku duduk di ujung lain kursi yang sama dengannya, menyisakan space kosong yang muat untuk dua orang di antara kami.

"Baru pertama kali bimbingan?"

"Hah?"

"Nggak usah gugup. Pak Nizar sebenarnya baik, kok. Beliau galaknya ke mahasiswa bebal aja."

Sepertinya, Ridho salah paham. Mungkin Ridho mengira aku mahasiswa yang akan melakukan bimbingan, melihat dari map plastik tebal berisi fotokopian berbagai materi beserta tugas makalah yang aku bawa. Mungkin dia juga menyangka kegugupanku diakibatkan karena akan menghadapi Papiku. Papi memang dosen yang cukup ditakuti oleh mahasiswanya dan sangat tidak suka mahasiswa yang tidak tepat waktu, tapi Papi belum mencapai killer. Padahal, saat ini aku gugup karena berinteraksi dengannya. Aku jadi bingung, harus merespon bagaimana.

Meant to Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang