Atmosfer Kebahagiaan

489 49 0
                                    

Aroma jagung bakar yang sedang dibakar memenuhi indera penciumanku. Rasanya tidak sabar, ingin segera menyantapnya. Syifa yang duduk disampingku juga tak henti-henti melirik jagung yang sedang dikipas oleh Abangnya itu.

Saat ini, aku sedang berada di salah satu villa keluarga Agam di Bandung Selatan. Ayah Adnan yang baru pulang dari dinas, mengajak aku ikut keluarga kecilnya berlibur sejenak di akhir pekan. Setelah puas berendam di Pemandian Air Panas Ciwalini, kami memutuskan menikmati jagung bakar karena udara sangat dingin malam ini.

Ayah Adnan dan Agam bertugas membakar jagung, Bunda Sofja sedang membuat minuman hangat di dapur, aku dan Syifa yang sudah menyelesaikan tugas menata piring memilih duduk.

Tidak lama, Bunda Sofja datang sambil membawa teko berisi wedang jahe. “Aduh dingin, ya. Apa mending kita pindah ke dalem aja?” Bunda Sofja mengaduh begitu mendudukan dirinya di samping Syifa.

“Ih, Bun. Aku mau sambil lihat bintang. Cantik banget itu langitnya.” Protes Syifa sambil menunjuk langit malam yang dipenuhi bintang.

“Makanan siap, ladies.” Agam membawa setumpuk jagung bakar hasil perjuangannya bersama Ayah Adnan.

Kami mulai menikmati hidangan yang tersedia, sambil berbincang. Meja bulat ini ramai dikelilingi oleh tawa canda kami. Walaupun udara sangat dingin, wedang jahe buatan Bunda Sofja sangat membantu menghangatkan tubuh.

“Oh iya, Neng Srin. Bunda ketemu Chef Mondy dua hari yang lalu. Katanya Chef Mondy mau lanjut sekolah di Paris. Jadi nanti yang ngajar bukan Chef Mondy langsung, digantiin sama temannya. Chef Mondy juga tanya kabar kamu, salam buat kamu, katanya.”

“Chef Mondy itu laki-laki atau perempuan, Bun?” pertanyaan Agam membat kami semua menoleh ke arahnya.

“Uluh uluh, ada yang cemburu nih ye.” Ledek Syifa membuat Agam melotot.

“Abang beruntung, karena Chef Mondy udah nikah. Coba kalau nggak. Neng Srin mana mau ngelirik Abang.” Perkataan Bunda Sofja membuat tawa kami meledak, kecuali Agam yang protes keras.

Besoknya, pagi-pagi sekali Agam mengajakku jogging, lebih tepatnya memaksa. Aku masih ingin bergelung di bawah selimut, karena cuaca masih dingin.

“Ayo, Babe! Digerakin bakal anget nanti.”

Disinilah aku sekarang, menelusuri hamparan hijau perkebunan teh dengan ngos-ngosan. “Capek, Gam.” Aku menghentikan langkah karena tidak sanggup lagi menapaki jalan yang terus menanjak ini.

“Ayo, sedikit lagi.” Setelah berhenti sejenak untuk mengatur napas, Agam menuntunku melanjutkan perjalanan.

Rupanya Agam tidak berbohong saat bilang akan mengajakku melihat pemandangan indah. Walaupun penjalanan sangat menguras tenagaku yang jarang berolahraga ini, semua terbayar saat sampai di puncak ini.

Sepanjang mata memandang, yang kulihat adalah langit cerah dan hamparan hijau yang menyegarkan mata. Rasanya ingin aku bawa pulang ke rumah, pemandangan ini.

Punggungku terasa hangat ketika Agam memelukku dari belakang, dagunya bersandar di puncak kepalaku,membuatku memegang tangangnya yang melingkari tubuhku.

“Jadi pengen nanem teh di halaman rumah.” Ucapan Agam membuatku tertawa.

“Daripada ribet harus nanem. Mending rumahnya aja yang dibawa kesini, Gam.”

“Bisa aja deh, kamu.” Kata Agam sambil mencubit pipiku.

“Ih, nyubit mulu. Sakit tau, Gam.” Protesku membuat Agam tertawa.

“Dicium aja mau, nggak?” kepala Agam melongok menatapku, alisnya naik-turun.

“Modus!” Aku menoyor kepala Agam, agar menjauh dariku. Membuat Agam tertawa kencang sambil mengeratkan pelukannya.

Meant to Be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang