PART 46 [Bubarnya Isi Kepala]

11 2 0
                                    

Mereka berhenti tepat di traffic light, padahal lampunya sudah menunjukkan lampu hijau. Begitupun kendaraan-kendaraan yang ada dibelakang, mereka ikutan berhenti juga. Ternyata di traffic light itu terjadi kecelakaan.

"Gila, untung aja kita responnya cepet non" Aryo geleng-geleng kepala.

"Masya Allah, tu orang nggak ngeliat apa? Lampu merah maen terobos-terobos aja" tukas Nadia.

Seorang pengendara sepeda motor terlibat kecelakaan dengan pengendara lainnya karena ia menerobos lampu merah. Terlihat ada lima sepeda motor yang ditabraknya. Di perempatan jalan itu mulai macet karena insiden kecelakaan yang baru saja terjadi. Mana belum ada personil polisi yang mengamankan dan mengatur lalu lintas disana, macet makin menjadi. Banyak pengendara yang menghampiri korban kecelakaan. Aryo dan Nadia tidak berniat untuk melihat kejadian itu. Mungkin Aryo tidak mau lagi melihat kejadian yang pernah menimpa dirinya.

Beberapa menit berlalu, kemacetan itu belum juga mencair, malah makin parah. Sekitar lima belas menit kemudian, datanglah beberapa personil polisi untuk mengamankan dan mengatur lalu lintas disana.

"Gimana pak orangnya?" tanya Aryo kepada pengendara yang tadi sempat melihat korban kecelakaan.

"Mati mas, isi kepalanya bubar semua. Ngeri" ujar pengendara itu sambil bergidik ngeri.

Nadia bergidik begitupun dengan Aryo.

"Ya begitulah mas saat penunjang keselamatan seperti helm diabaikan dan hanya dijadikan pajangan atau mainan, padahal kita kan nggak tau kapan musibah itu bakalan dateng. Jadi lebih baik mengantisipasi sebelum semua itu terjadi. Contohnya ya pakai helm saat berkendara" bapak-bapak pengendara itu berujar.

Aryo dan Nadia mengangguk.

"Tapi kayaknya filosofi di Indonesianya sih pak yang salah" pancing Aryo.

"Maksud mas? Koq bisa nyangkut-nyangkutin kecelakaan sama filosofi negara kita?" tanya bapak itu penasaran.

"Kan merah itu berani pak! Jadi saat lampu merah nyala, mereka berani nerobos" ujar Aryo.

Sontak bapak itu tertawa, begitupun dengan Aryo. Kepala Aryo ditoyor oleh Nadia karena ketawanya kencang sekali, sampai-sampai pengendara yang lain menoleh memperhatikan Aryo dan bapak pengendara sepeda motor yang sedang tertawa-tawa. Memang Aryo dan bapak ini tidak melihat situasi dan kondisi. Kalau bisa ketawa sekencang-kencangnya.

Mayat tadi sudah mulai diangkat ke mobil pick-up milik polisi. Kemacetan pun mulai mencair. Kendaraan-kendaraan sudah mulai melaju walau pelan. Sementara itu Aryo dan bapak pengendara sepeda motor, berpamitan. Kendaraan mereka mulai berjauhan karena berbeda arah tujuan.

"Yo, kalo isi kepala lu bubar kayak gitu gimana?" Nadia berandai-andai.

"Emang si non mau gitu ditinggalin sama saya?" goda Aryo.

Nadia diam, ia malah memukul kepala Aryo. Beruntung Aryo pakai helm, kalau tidak, sudah oleng sekalian itu motor.

Aryo tertawa. "Yang pastinya saya masih sayang sama otak mesum saya" tawanya mulai mereda.

"Jadi lu lebih sayang otak mesum lu gitu, daripada nyawa lu sendiri?" ujar Nadia kesal. Sepertinya ia tidak mau kehilangan Aryo.

"Sama nyawa? Jelas sayang banget dong" jawab Aryo.

"Ih nggak jelas banget" sela Nadia.

Aryo makin keras tertawanya.

"Udah, jangan ketawa mulu. Fokus tuh ama jalan" ujar Nadia.

Tapi dasar Aryo, bukannya berhenti ketawa, ia malah ketawa sekencang-kencangnya. Memang edan anak satu ini.

"Non, makan dulu yah. Cacing saya udah pada nyanyi nih" pinta Aryo.

"Iya deh Yo, gw juga udah laper nih" Nadia setuju.

Aryo mencari-cari tempat makan. Ketemu...,
Aryo meminggirkan kuda besinya di sebuah tempat makan. Nadia mengerutkan dahinya memperhatikan tempat makan itu. Nadia diajak makan ke sebuah warung pecel lele. Dan inilah kali pertama untuk Nadia menginjakkan kakinya di sebuah warung pecel lele, di pinggir jalan, lesehan pula.

"Yo, koq makan di tempat gini sih? Kotor tau" ujar Nadia yang sedikit merasa risih.

"Udah ayo" Aryo menarik tangan Nadia. Mereka duduk lesehan. "Si non mau pesen apa?" tanya Aryo.

"Nggak dikasih buku menu ya?" Nadia balik bertanya sambil memandang Aryo.

Aryo menahan tawanya sekuat tenaga. Nadia memang benar-benar buta dengan tempat-tempat seperti ini. Dia biasanya makan direstoran-restoran mewah, bukan tempat seperti ini.

"Kenapa lu?" tanya Nadia heran.

"Di sini nggak ada buku menu non" Aryo memberitahu sambil masih menahan tawanya. "Si non mau ayam goreng, ayam bakar atau lele goreng?" tanyanya.

"Emh, lele goreng aja deh" jawab Nadia. Daripada lama-lama mikir, bisa-bisa ia ditertawakan lagi oleh Aryo.

Aryo mengangguk. "Kalo minumnya?"

"Ada lemon tea nggak?" tanya Nadia.

Kini Aryo benar-benar tertawa lepas mendengar pesanan Nadia. "Disini adanya es teh manis, teh manis anget, es jeruk, jeruk anget, es tawar sama air bening" ujar Aryo. Ia bisa tahu karena sudah lama berlangganan di warung pecel lele ini.

"Air bening?" tanya Nadia.

"Kalo orang-orang bilangnya air putih non, menurut saya air putih itu kalo nggak susu ya air tajin beras. Jadi saya bilangnya air bening" ujar Aryo cengengesan.

"Terserah elu deh" Nadia kesal.

"Jadi minumnya apa?" Aryo mengulang pertanyaannya.

"Es jeruk aja" jawab Nadia.

"Mbak...." Aryo memanggil pegawai warung itu.

Mbak-mbak pegawai itu mencatat pesanan Aryo dan Nadia.
Beberapa menit kemudian, pesanan mereka datang.

Nadia memperhatikan makanan yang dipesannya. "Ini cara makannya gimana Yo?" tanya Nadia. Ia benar-benar tidak tahu.

Aryo tersenyum. "Nih liat cara saya makan..."

Aryo pun mulai memakan makanan yang dipesannya, Nadia memperhatikan. Dia menganggukkan kepalanya, mengerti sepertinya kemudian mulai menyantap makananannya. "Yo, enak juga ya masakannya. Apalagi sambelnya nih" ujar Nadia.

Aryo tersenyum.
Selesai makan, mereka mengobrol-ngobrol sebentar. Aryo mengedarkan pandangannya. Ia langsung mendelik dan berpindah tempat duduk ke samping Nadia. Kepala Nadia ditariknya secara halus ke bahunya.

"Kenapa Yo?" tanya Nadia heran. Kepalanya masih berada di bahu Aryo.

"Udah diem non" Aryo mengelus-ngelus rambut panjang Nadia yang tergerai.

ʜᴀʀᴀᴘᴀɴ ᴅɪ ᴜᴊᴜɴɢ ꜱᴇɴᴊᴀ ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang