PART 61 [Tak Pandang Bulu]

20 1 0
                                    

Aryo dan Nadia duduk di kursi yang tersedia disana. Tiba-tiba Rini berlari menghampiri mereka. Ia duduk disana.

"Kenapa loe Rin?" tanya Aryo.

Rini tidak menjawab. "Budeee...., minta aer minum!" teriaknya.

"Iya bentar mbak!" jawab bude Diah.

=================================================

Rini engos-engosan. Ia duduk di samping Nadia dan berhadapan dengan Aryo.

"Kenapa lu? Kayak orang yang dikejar setan gitu!" tanya Aryo penasaran. Ia memandang Rini, minta penjelasan.

Bude Diah membawa segelas air putih untuk Rini. "Bentar yah pak boss, mbak Nadia. Pesanannya lagi disiapin"

"Kirain udah bude!" sergah Aryo.

Bude Diah tersenyum, ia beranjak dari sana. Rini meneguk air itu sampai habis. Benar-benar haus dia.

"Buset dah, udah kayak orang kesurupan aja!" ledek Aryo.

Nadia melotot. Ia memperhatikan Rini yang sedang menata nafasnya.

"Boss, mengenai security tadi...." akhirnya Rini berbicara juga.

"Hah, kenapa? Mati?" sela Aryo.

"Maen potong-potong omongan orang lu ini" ujar Nadia.

Aryo nyengir.

"Security tadi....," kata-kata itu terputus. Rini menunduk.

Aryo dan Nadia menunggu kelanjutan omongan Rini. Nadia mulai gusar, takut kalau security itu benar-benar meninggal. Bukannya apa-apa, nanti orang yang disayanginya yang kena getahnya.

"Security itu kenapa, Rin?" Nadia mulai khawatir.

Rini menghela nafas panjang. "Security itu..... baik-baik aja, cuma patah tulang leher. Tiga hari juga katanya udah mulai bisa pulih, cuma belum bisa pulih sepenuhnya" ujarnya sambil nyengir lebar.

Nadia menghela nafas. Lega dia.

"Anjrit, gw dikacangin. Kampret lu Rin!" ujar Aryo.

Rini tertawa terbahak-bahak, begitupun dengan Nadia. "Haha... sekali-kali kan nggak papa, ngejailin boss sendiri" ujar Rini.

"Iya Rin, biar tau rasa tuh si Aryo" Nadia menambahkan, padahal tadi dia gusar bukan main.

Aryo garuk-garuk kepala. "Tau rasa sih, tau rasa non. Tapi nggak kayak gini juga!" ucapnya.

"Ahh, elu juga hampir tiap hari ngejailin kita-kita" balas Nadia dengan gemasnya.

Aryo nyengir.
Pesanan datang.....

"Buset dah, itu berapa porsi boss?" tanya Rini sembari memperhatikan mie rebus yang akan disantap Aryo.

"Duuuuaaaa...." jawab Aryo menirukan iklan di televisi.

"Makan banyak, tapi nggak gendut-gendut dia mah, Rin!" ledek Nadia.

Rini dan Nadia tertawa.

"Hehe, yang penting kan sehat" balas Aryo. Ia mulai menyantap mie rebusnya.

"Elu itu nggak sehat, makanya badannya nggak gendut-gendut" Nadia tidak mau kalah.

"Haha, seterah si non lah"

Nadia melotot tajam, rini cengengesan. "Boss, balik dulu yah" ucap Rini.

Aryo menganggukkan kepala, ia masih asyik menyantap mie rebusnya.

"Ya Nad, selamat beromantis-romantisan sama si boss!" ujar Rini tertawa.

Nadia melotot, Aryo mengerling. Rini pun beranjak dari sana dan kembali ke meja kerjanya.
Nadia dan Aryo menyantap makanannya masing-masing. Sama seperti halnya wanita kebanyakan, Nadia menyantap mie gorengnya sedikit-sedikit. Entah menikmati atau memang kebiasaan makan wanita seperti itu. Walau lapar, Aryo menyantap mie-nya tidak beringas. Panas mungkin. Ia memperhatikan Nadia yang sedang menyantap makanannya. Lama-lama matanya memicing, memperhatikan perubahan warna kulit di tubuh Nadia.

"Non, kulitnya koq merah-merah gitu?" tanya Aryo.

Nadia tidak menjawab, ia kelihatan gusar.

"Budeee...." teriak Aryo.

Bude Diah segera menghampiri Aryo. "Kenapa pak boss?"

“Mie goreng non Nadia ada udangnya yah bude?” tanya Aryo.

“Ada pak boss” jawab bude Diah.

Aryo mendengus pelan dan menghentikan aktivitas makannya. Ia berdiri, menarik tubuh Nadia, lalu mengangkat tubuh Nadia di pangkuannya. "Dia ini alergi udang, bude!"

"Maaf pak boss, saya nggak tau!"

"Entar ini makanan masuk ke tagihan saya aja ya bude" ujar Aryo sambil berlari mengangkat tubuh Nadia.

Nafas Nadia masih tersengal-sengal seperti orang yang kena asma. Aryo mengangkat Nadia ke lobby kantor.

"Nadia kenapa pak boss?" tanya Nisa terkejut.

"Alergi dia. Tolong panggilin Putri sama Wawan, Nis" ujar Aryo.

Nisa buru-buru mengangkat gagang telepon, lalu menelepon Putri melalui extension kantor. Tak berapa lama, Putri dan Wawan turun dengan tergesa-gesa.

"Nadia kenapa pak boss?" tanya Putri.

"Alergi dia. Wan, ayo ke mobil lu. Kita ke Rumah Sakit" ucap Aryo yang mulai khawatir.

Wawan mengangguk. Mereka berlari menuju ke mobil Wawan yang tengah terparkir di parkiran kantor.

Aryo memasukkan Nadia ke mobil Wawan, di kursi belakang. "Sini gw yang nyetir" ujarnya.

"Tapi pak boss?"

"Udah, sini gw aja!"

Dengan berat hati, Wawan memberikan kunci mobilnya kepada Aryo. Bukannya apa-apa, ia tidak enak hati kalau bossnya yang harus menyetir. Tapi ia pasrah dengan kemauan Aryo yang sepertinya sedang khawatir. Baru kali ini, Putri dan Wawan melihat kekhawatiran yang terpampang jelas di wajah boss-nya ini. Aryo langsung tancap gas menuju Rumah Sakit terdekat. Terdengar suara decitan ban dari mobil itu. Tidak sepeda motor, tidak mobil. Hawanya pengen ngebut terus. Tak butuh waktu lama untuk mereka sampai di Rumah Sakit, Aryo kembali mengangkat Nadia di pangkuannya. Dan membawa Nadia ke dalam gedung Rumah Sakit.

Nafas Nadia masih tersengal-sengal. Ia terbatuk....

"Nad...." ucap Putri dan Wawan serentak, sedikit berteriak. Mereka khawatir, begitupun dengan Aryo.

ʜᴀʀᴀᴘᴀɴ ᴅɪ ᴜᴊᴜɴɢ ꜱᴇɴᴊᴀ ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang