PART 69 [Isi Hati, Siapa Yang Tahu]

12 1 0
                                    


Aryo menangkap tangan Dini yang hendak beranjak dari sana. Ia menahan gerak langkah Dini. Dini menoleh, mereka saling berpandangan.

"Din...," ujar Aryo lembut.

Aryo masih memegang tangan Dini. Ia menghela nafas panjang mengumpulkan segenap keberaniannya.

============================================

Aryo berdiri dari kursi panjang itu. Ia memegang kedua tangan Dini sambil memandang wajah Dini yang tertimpa sinar lampu dari parkiran itu. Aryo mendekatkan wajahnya ke wajah Dini dengan perlahan, matanya menatap lurus ke mata Dini. Sedangkan Dini, ia malah menarik wajahnya dari Aryo. Ia mengerutkan dahinya sambil melotot.

PLAAAKKK...,
Tamparan yang lumayan keras, mendarat mulus di pipi Aryo yang lebam. Dini melepaskan kedua tangannya dari Aryo

"Anjiir, sakit Dini. Lu maen gampar-gampar aja" Aryo meringis kesakitan.

"Nyadar woei, gw ini udah punya cowok" Dini berucap sembari memelototi Aryo.

"Gw tau kalo lu udah punya cowok" ujar Aryo yang masih mengusap-ngusap pipinya sambil meringis.

"Kalo lu tau gw udah punya cowok, ngapain lu nysor-nyosor gw? Lu mau nyipok gw? Sorry yah"

"Dih, GR banget lu" balas Aryo.

"Terus, ngapain lu tadi. Pake ngedeket-deketin wajah segala?"

"Hah, sebenarnya tadi gw mau ngomong sesuatu sama lu. Tapi, udahlah lupain aja" ujar Aryo sambil berlalu dari hadapan Dini. Ia hendak kembali ke ruangan tempat Nadia dirawat.

Dini tertegun mencoba mencerna semua kelakuan Aryo hari ini. Ia benar-benar tak habis pikir. Tak ingin terlarut dalam pikiran itu, ia mengejar Aryo yang sudah jalan duluan. Ia berjalan di samping Aryo. "Elu tadi mau ngomong apaan?" tanya Dini sambil memandang Aryo.

"Udahlah lupain aja" jawab Aryo ketus.

"Gitu aja marah" goda Dini.

"Siapa yang nggak marah coba, mau ngomong malah digampar"

Dini nyengir. "Sorry. Gw kira lu mau nyipok gw. Ya gw kagak mau lah. Lagian seumur-umur juga, gw belum pernah tuh yang namanya dicipok" ujarnya sungguh-sungguh.

Aryo menghentikan langkahnya. Ia menarik tangan Dini. Mereka sama-sama berhenti di koridor Rumah Sakit itu. "Sini gw cipok" ujar Aryo sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Dini.

PLAAAKKK...,
Tamparan itu mendarat kembali di pipi Aryo. Dini meninggalkan Aryo disana tanpa ada perasaan bersalah sedikitpun. Sepertinya ia sedang kesal.

Aryo memandang Dini yang terus menjauh dari pandangannya. "Hah, seandainya lu tau isi hati gw Din" batinnya sembari menggelengkan kepala. Ia pun berjalan kembali ke arah parkiran. Sesampainya di parkiran, Aryo menghampiri mobil Nadia yang terparkir disana. Ia geleng-geleng kepala sambil mengedarkan pandangannya. "Baaang...," teriaknya kepada petugas parkir.

Petugas parkir itu menoleh ke arah Aryo dan segera menghampirinya. "Kenapa bos?" tanya petugas parkir itu. Sebenarnya ia kaget melihat wajah Aryo yang bonyok, tapi tidak ia tunjukkan ekspresi kekagetannya itu.

"Deket-deket sini, ada tukang tambal ban nggak?" Aryo balik bertanya.

"Ada boss. Kalo mau saya panggilin tukang tambal bannya" ujar petugas parkir itu sambil memandang ban mobil Nadia yang kempes.

"Ya udah bang, panggilin aja"

Petugas parkiran itu mengangguk. Ia berlari, hendak memanggil tukang tambal ban. Aryo duduk di kursi sambil memandangi mobil Nadia. Setelah beberapa menit menunggu, datang juga tukang tambal ban itu dengan gerobaknya. Ia berjalan bersama petugas parkir. Mereka langsung menghampiri Aryo yang sedang duduk mencangkung sendirian sambil menghisap rokok.

"Ban mana boss. Yang mau ditambal?" tanya tukang tambal ban itu dengan sigap.

"Mobil itu tuh bang" jawab Aryo sambil menunjuk mobil Nadia.

Tukang tambal ban itu segera mendekati mobil Nadia. Ia mengecek ban yang kempes. Aryo memperhatikan tukang tambal ban yang sedang bertugas. Ia malas sekali untuk bangkit dari kursi itu. Akhirnya ia terus duduk sambil menghembuskan asap rokoknya secara perlahan. Sedangkan petugas parkir tadi sudah kembali ke tempat jaganya.

Beberapa menit kemudian, tukang tambal ban tadi menghampiri Aryo. Sepertinya tugasnya sudah selesai. "Udah kelar boss" ucap tukang tambal ban itu.

"Sip, makasih ya" ujar Aryo sambil menyodorkan selembar uang seratus ribu kepada tukang tambal ban itu.

"Waduh boss, gede amat duitnya. Nggak ada yang kecil apa?"

"Duit itu aja dilipetin bang, entar juga jadi kecil" canda Aryo.

"Si boss ini malah becanda. Entar saya tukerin dulu duitnya" ujar tukang tambal ban itu hendak beranjak dari sana.

"Eh bang, nggak usah ditukerin. Ambil aja semuanya"

"Tapi ini gede banget boss?"

"Udah nggak papa, ambil aja"

Wajah tukang tambal ban itu mendadak cerah. "Makasih banyak boss"

Aryo mengangguk sembari tersenyum.

"Kalo gitu, saya pamit dulu boss"

Aryo mengangguk. "Makasih banyak ya bang"

"Iya boss. Sama-sama" tukang tambal ban itu pun meninggalkan Aryo sendirian disana.

Dirasa terlalu lelah, Aryo pun merebahkan badannya di kursi panjang itu. Ia memandang langit malam yang dihiasi bintang-bintang dan indahnya bulan sabit sambil menghembuskan asap rokoknya secara perlahan.

"Aryoooo..." seseorang memanggil namanya.

Aryo menanjamkan pendengarannya. Ia berusaha mengenali suara itu.
Teriakan itu masih berdengung di telinganya. Bahkan lebih keras. Ia celingak-celinguk, mencari sumber suara itu. Tidak ketemu juga. Akhirnya, ia bangkit dari kursi panjang dan terus menajamkan pendengarannya. Teriakan itu masih tetap terdengar. Aryo mendekati mobil Nadia, ia menengok ke kolong mobil, tidak ada orang. Menempelkan telinga di kap mesin mobil, bukan dari sana. Ia jadi bingung sendiri mencari-cari orang yang berteriak kepadanya.

ʜᴀʀᴀᴘᴀɴ ᴅɪ ᴜᴊᴜɴɢ ꜱᴇɴᴊᴀ ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang