Nadia berteriak untuk menghentikan mobil yang mereka kendarai, sontak Aryo menginjak rem dengan kuatnya, ban mobil berdecit. Hingga sukseslah Aryo ber-slalom ria di dalam mobil itu. beruntung jalanan hari itu agak sepi karena sudah masuk di area komplek perumahan. Anggi terbangun dengan kaget.
"Kenapa non?" tanya Aryo.
"Lu liat di tengah jalan tuh, gede gitu mau ditabrak-tabrak aja. Ngantuk ya lu?" ujar Nadia menjelaskan.
Aryo melebarkan pandangannya, tidak ada apa-apa, kosong melompong jalanan itu. "Mana non, ah?"
"Itu, Aryooo"
Anggi melongo melihat 'orang-orang besar' ini kebingungan. Nadia terlihat gusar.
"Non" ujar Aryo sedikit membentak.
Nadia menoleh ke arah Aryo dengan pandangan mata yang menyiratkan kekhawatiran. Aryo mendekatkan wajahnya ke wajah Nadia, jaraknya hanya 30 centi. Nadia menyongsong wajah Aryo, ia tidak ingat kalau didalam mobil itu bukan hanya mereka, Anggi juga ada disana. Seketika itu pula Aryo tertawa lepas melihat wajah Nadia sambil menjauhkan wajahnya.
"Napa lu, Yo?" tanya Nadia heran.
Aryo masih saja tertawa. "Itu belek si non gede banget" ujarnya sambil tertawa terpingkal-pingkal.
Nadia menyambar tissue yang ada di mobilnya, mengusap-ngusap matanya. Dan benar saja, tahi mata yang agak besar menempel jelas di atas tissue. Mereka melanjutkan perjalanannya. Sesampainya di rumah pak Robby, lagi-lagi Anggi tertidur di pangkuan Nadia, sambil di sambut oleh pak Robby dan bu Desy ibunya Anggi.
“Nad, udah pantes lho kamu” ujar bu Desy.
“Pantes apanya bu?” jawab Nadia yang memang tidak tahu jalur pembicaraan tersebut.
“Itu, kamu gendong anak udah pantes” timpal pak Robby.
“Hahaha, tu kan non apa kata saya, si non itu udah pantes kalo gendong anak” Aryo menambahkan. Pak Robby dan bu Desy sudah mengetahui hubungan antara Aryo dan Nadia, jadi mereka tidak kaget kalau Aryo memanggil Nadia dengan sebutan ‘non’.
“Jadi kapan Yo, kamu nikahin Nadia?” tanya pak Robby, keceplosan sepertinya dia. “Eh, bener kan kamu sekarang sama Nadia?” lanjut pak Robby.
Yang ditembak langsung hanya garuk-garuk kepala. Nadia tersipu malu. “Iya pak, sekarang saya bareng non Nadia, Anggi, pak Robby dan bu Desy” kilah Aryo.
“Udah pak, susah ngomong sama dia mah" ujar Nadia.
“Iya emang susah kalo ngomong sama spesies satu ini” canda bu Desy.
Tertawa semua.
“Makan dulu yuk, kebetulan masih banyak tuh makanan” ujar bu Desy menawarkan.
“Wah, pengennya sih gitu bu. Tapi Aryo udah makan, lambung Aryo kan nggak kayak karet yang bisa dimasukkin segala macem makanan. Gak tahu tuh kalo non Nadia, mungkin masih pengen makan dia” ucap Aryo.
“Sama bu, Nadia juga masih kenyang” ujar Nadia sambil melotot ke arah Aryo, yang dipelototin cengengesan.
“Jangan bilang kamu membatasi makanan kamu biar badan kamu nggak gemuk ya Nad” timpal pak Robby.
“Nggak koq pak” jawab Nadia.
Aryo tertawa mendengar candaan dari pak Robby, walaupun bagi orang yang mendengar tidak ada lucunya, tapi menurut Aryo tetap saja lucu.
“Kenapa lu Yo?” tanya Nadia.
Sambil menahan tawa, Aryo menceritakan kalau ia membayangkan badan Nadia menjadi gemuk, yang jadi objek candaan cemberut. Tapi dasar Aryo, ia tetap saja mengejek Nadia. Aryo berhenti mengejek setelah Nadia memukul-mukulkan tangannya ke badan Aryo. Sungguh kemarahan yang romantis. Di rumah pak Robby, mereka ngobrol-ngobrol ringan, yang senang yang sedih, semuanya campur aduk dalam forum itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ʜᴀʀᴀᴘᴀɴ ᴅɪ ᴜᴊᴜɴɢ ꜱᴇɴᴊᴀ ✓
ChickLitAryo tersenyum, dia mengangkat tangan kanannya semacam orang yang menerima ajakan dari seseorang, lalu memandang langit-langit ruangan itu sambil terus tersenyum. "Yank, aku pulang duluan" ujar Aryo mantap. Matanya mengatup, tangannya terkulai lemas...