Rini mengambil HP dari dalam tasnya, sepertinya dia bermaksud untuk menghubungi Aryo yang sedang keluar dan memberitahukan bahwa mereka akan pulang. Setelah beberapa menit berbincang di telepon, genknya Nadia pun pamit untuk kembali ke rumahnya masing-masing.
========================================================
Sekitar pukul setengah sepuluh malam, Aryo baru kembali ke ruangan yang ditempati Nadia. Terlihat Nadia sedang asyik menonton televisi dan Nina yang hampir ketiduran di dalam ruangan itu. Ia menghampiri mereka berdua.
“Non, kalo mau pulang, yuk saya anterin" Aryo menawarkan sambil memegang bahu Nina.
Nina terbangun sambil mengucek-ngucek matanya. “Nggak lah kak, Nina mau ngejagain kak Nadia di sini” jawabnya.
Aryo mengangguk. “Ya udah kalo gitu, tapi lebih baik non Nina pindah ke tempat tidur itu deh. Biar pas bangun entar, badannya nggak pada sakit" pintanya sambil menunjuk tempat tidur di sebelah tempat tidur Nadia.
“Lha, entar kak Aryo tidur dimana?” tanya Nina.
“Haha, gampang saya mah non. Di emperan toko juga bisa tidur” jawab Aryo
“Kak Aryo ini ada-ada aja”
Nina tersenyum dan menuruti perintah Aryo.
Sepertinya, tempat tidur yang satu lagi memang disediakan khusus untuk orang-orang yang menunggu orang terdekatnya yang sedang dirawat. Tak butuh waktu lama untuk Nina pergi ke alam mimpi, tidurnya nyenyak sekali seolah-olah ia berada di rumah sendiri. Nadia memperhatikan wajah adiknya yang tengah tertidur, ia tersenyum tanpa alasan. Mungkin ia bangga punya adik secantik dan sebaik Nina.Tapi dasar Aryo, sepertinya otaknya agak sedikit nge-hang. Ia terus memperhatikan buah dada Nina yang naik turun. Cardigan hitam yang dikenakan Nina agak sedikit tersingkap tepat di buah dadanya. Ukuran buah dada Nina memang agak besar, sama seperti punya Nadia yang diperkirakan ukurannya 32B. Memang sedang mengkel-mengkelnya buah dada Nina dan Nadia.
Aryo menelan ludah dan masih terus memperhatikan buah dada Nina yang besar, naik turun seirama dengan hembusan nafasnya. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Tapi ia tak lantas lupa dengan Nadia yang masih memperhatikan wajah adiknya. Tak mau ketahuan, Aryo mengalihkan pandangannya. Tapi kini ke arah buah dada Nadia, memang cacat otak anak satu ini. Bahkan ia bisa sedikit mengintip bra yang dipakai Nadia, karena baju pasien yang dikenakan Nadia, kancingnya tidak tertutup secara sempurna.
Ia kembali teringat kejadian waktu SMA yang pernah menimpa Nadia yang mendadak pingsan gara-gara alergi. Waktu itu, ia juga yang mengangkat Nadia dipangkuannya. Karena mungkin memang sudah menjadi kebiasaan Nadia waktu zamannya SMA, Nadia memakai baju SMA dengan tiga kancing paling atas dibiarkan terbuka, sepertinya memang disengaja. Alhasil, Aryo bisa puas melihat buah dada milik Nadia, hingga ia kuat berjalan 2 kilometer sambil mengangkat tubuh Nadia dipangkuannya. Rasa capek hilang dengan sendirinya setelah melihat mulusnya daging yang menggantung di dada Nadia.
Memang dari dulu juga, Aryo ini terkenal dengan otaknya yang ngeres, sebentar-sebentar omongannya pasti menjurus ke hal-hal yang berbau seperti itu. Aryo duduk di kursi sambil senyum-senyum sendiri, menopang dagu dengan kedua tangannya sambil memperhatikan buah dada Nadia yang terus bergerak.
PLETAAAAKK…,
Tiba-tiba kepalan tangan Nadia landing tepat di atas kepala Aryo. Jitakan itu bisa membuat kepala nyut-nyutan dan hanya satu yang bisa mengobatinya, yaitu BODREX. Aryo yang sedang enak membayangkan masa lalunya merasa terkejut dengan jitakan Nadia. Bagaimana tidak terkejut, orang yang sedang enak melamun tiba-tiba dikagetkan. Beruntung Aryo bukan tipe orang yang begitu dikagetkan bisa langsung mendadak pingsan. Kalau Aryo tipe orang yang seperti itu, bagaimana keadaan Nadia nantinya, pasti panik setengah mati.“Ngapain lu ngeliatin dada gw?” tanya Nadia sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Aryo nyengir sambil mengusap-ngusap kepala.
“Kampret lu ya, berarti dari tadi lu ngeliatin dada gw?” ujar Nadia sedikit membentak.
Aryo hanya nyengir bego. “Sorry non sorry, jadi cewek galak amat sih”
“Kelakuan elu tuh” cibir Nadia.
“Hehe sorry, tadi nggak sengaja liat. Keterusan berfantasi deh” ucap Aryo, keceplosan.
Dan sekali lagi, pipi Aryo yang menjadi korban dari tangan Nadia. Dan cap lima jari pun, ikut menghiasi pipi Aryo yang sudah lebam. Aryo mengusap-ngusap pipinya.
“Untung lu boss gw. Kalo bukan, udah gw bunuh lu” ujar Nadia.
“Emang si non tega ya bunuh saya?” goda Aryo.
Nadia memelototi Aryo. Dan sekali lagi, kepalan tangan Nadia mendarat tepat diubun-ubun Aryo. Bahkan Nadia hampir saja meng-uppercut dagu Aryo, beruntung reflek Aryo lebih cepat dari biasanya hingga ia bisa menghindar dari pukulan telak itu. Memang disaat-saat seperti itu, Nadia biasanya menjadi lebih galak, seperti macan yang sedang hamil.
Aryo menjauhkan dirinya dari Nadia, ia takut kalau pukulan-pukulan Nadia yang lain mendarat lagi di tubuhnya. Bukannya jagain orang sakit, tapi nanti malah mirip orang yang habis bertinju di atas ring. Ia mulai memasang kuda-kuda, berjaga-jaga kalau Nadia lompat ke arahnya dan meluncurkan tendangan tanpa bayangan. Kalaupun tendangan tanpa bayangan itu meluncur ke arahnya, ia masih bisa mengantisipasinya dengan jurus bangau mematuk ular atau dengan jurus otak ngeresnya. Ternyata benar saja, Nadia melompat ke arah Aryo. Tetapi ia malah memeluk Aryo dengan eratnya.
“Non, sesek nih non, nggak bisa nafas saya” ujar Aryo dengan nafas yang tersengal.
KAMU SEDANG MEMBACA
ʜᴀʀᴀᴘᴀɴ ᴅɪ ᴜᴊᴜɴɢ ꜱᴇɴᴊᴀ ✓
ChickLitAryo tersenyum, dia mengangkat tangan kanannya semacam orang yang menerima ajakan dari seseorang, lalu memandang langit-langit ruangan itu sambil terus tersenyum. "Yank, aku pulang duluan" ujar Aryo mantap. Matanya mengatup, tangannya terkulai lemas...