60. Carpe Retractum

401 42 8
                                    

Anatie merapatkan mantel biru nya dengan erat. Ini Hari Minggu, hujan turun mengguyur kastil sejak tadi pagi. Biasanya di pagi seperti ini dia lebih memilih untuk menyembunyikan dirinya di dalam selimut sampai setidaknya matahari mulai muncul dan membiaskan cahaya kearah danah hitam yang terlihat dengan jelas dari balik kaca kamarnya. 

Akan tetapi, kali ini berbeda.

Anatie sadar kalau tidak seharusnya ia melupakan hari istimewa ini, meskipun dengan mengingatnya mungkin akan membiarkan hatinya bertambah sakit. Tidak, sejujurnya hati nya bukan sakit, tapi hancur.  Gadis itu hanya mencoba untuk bersikap seolah-olah tidak ada yang salah dengan hidupnya.

Anak Lord Voldemort, kekasih dari lelaki yang bahkan tidak mencintainya, dan juga... yatim piatu.

Seharusnya ke empat hal itu sudah cukup untuk membuatnya menangis setiap hari, setiap jam, setiap menit... bahkan detik. Dan hari ini adalah bagian terburuknya.

Ya, ini adalah hari ulang tahun ibunya.

Mirisnya, ini akan menjadi hari dan tahun pertama dimana ia tidak bisa lagi merayakan hari ulang tahun ibunya bersama dengan kehadirannya.

Gadis itu berjalan, menaiki pos menara burung hantu. Sesekali menghapus air mata yang sedari tadi sudah mengalir melewati pipinya. 

Pipi gadis itu memerah karena udara dingin yang menusuk kulitnya. Matanya pun memerah akibat air mata yang dihasilkan lewat kelopak matanya. 

Begitu sampai di pos menara burung hantu, Anatie berdiri di tepian, melihat pemandangan indah yang terlihat dari atas sini. Gadis itu mendongak, menatap ke arah langit penuh hujan yang seakan bisa mengerti kesedihannya sekarang.

Anatie memejamkan matanya, membiarkan air matanya kembali turun. Ia hanya bisa menangis dalam diam. 

"Happy Birthday, Mum." lirihnya dengan bibir bergetar. Seketika ia menunduk, kembali menangis dan sesekali suara isakkannya terdengar. 

Semenjak tahun ini dia tidak pernah lagi menerima surat yang selalu ibunya kirimkan padanya.

Tidak ada lagi sosok ibu yang bisa memberinya semangat. Tidak ada lagi sosok ibu yang bisa memarahinya, dan tidak ada lagi sosok ibu yang bisa menjadi tempatnya untuk pulang.

Gadis itu menarik napas dan menghembuskannya pelan. Terdiam menatap kosong ke arah depan, dan kembali teringat dengan percakapan terakhirnya dengan Draco beberapa minggu lalu.

Saat lelaki itu sama sekali tidak menjawab pertanyaan darinya.

Hal itu membuat Anatie merasa yakin kalau memang sudah tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari hidupnya.

Kehormatannya yang paling berharga bahkan sudah direbut oleh lelaki brengsek yang bahkan tidak dikenalnya. Dan penyakit anxiety yang masih menghantuinya bahkan belum hilang, Natty masih rutin mengonsumsi Draught of Peace setiap kali ia merasa jantungnya berdebar dan perasaannya mendadak cemas.

Ia berpikir sampai kapan lagi ia harus hidup seperti ini?

Gadis itu sudah kehilangan segalanya.

Bahkan, sekeras apapun dia mencoba untuk tidak mempedulikan perasaan Draco padanya, hal itu tetap tidak bisa ia lakukan.

Sekeras apapun Anatie mencoba ikhlas, dia tetap selalu ingin Draco untuk mau menerima cintanya dengan tulus. Bukan hanya kepura-puraan dan bukan karena hanya sekedar tugas dari ayah lelaki itu.

Anatie mencengkram pegangan batu yang ada di hadapannya dengan erat. Dia menundukkan tubuhnya untuk melihat kebawah, jarak tempatnya berdiri sekarang dengan daratan yang ada di bawah cukup jauh dan curam.

The Riddle's Servant • [Draco Malfoy]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang