28. Salah Kira

242 53 11
                                    

Happy Reading~~

*
*
*
*

"Bang."

"Hm?"

"Ada nenek di bawah," ujar Lia memberitahu abangnya itu.

"Iya."

Lia menatap Jilan dengan nanar. Ia merasa sedih sekali. Sifat yang paling ia benci, hadir lagi. Jilan menjadi dingin, cuek, tidak punya semangat hidup. Sudah sebulan hal ini terjadi.

Lia tidak menyalahkan siapapun di sini. Karena kalau ia melihat dari berbagai sudut, semuanya memang merasa paling benar. Apalagi permasalahannya tidak semudah yang ada dipikirannya.

"Bang, ayo turun."

"Entar, Li."

"Abang ngapain sih di balkon terus? Nunggu pesawat ngasih duit beneran?" seru Lia dengan kesal. Beberapa minggu ini Jilan selalu berdiri di balkon kamarnya. Tidak melakukan apapun selain melamun.

"Kamu turun duluan aja."

"Nenek pengen ketemu abang."

"Bilang, abang lagi ngerjain tugas," jawab Jilan dengan datar. Sejujurnya, ia sedang tidak ingin menemui siapapun.

"Abang masih mikirin Kak Abel?"

Tanpa perlu bantahan lagi, Jilan segera mengangguk. Biasanya di siang hari ini ia selalu menggunakan waktunya untuk bercengkrama dengan gadis itu. Tapi, sudah selama satu bulan ia tidak melakukan itu.

Gadis itu sudah menolak kehadirannya. Jilan juga melihat sudah tidak ada keceriaan diwajah gadis itu ketika melihatnya. Hal yang paling tidak ia harapkan.

"Abang minta maaf aja."

"Ck, setiap harinya juga abang minta maaf sama dia. Tapi ujung-ujungnya selalu ditolak," kata Jilan kesal. Dan sekarang ia tidak tahu harus melakukan apa lagi.

"Hubungan yang dibangun sama dua orang, emang harus saling kerjasama. Terus selama ini siapa yang paling banyak berjuang?"

Tanpa perlu dijawab pun, semua orang juga sudah tahu. Pertanyaan dari Lia hanya sebagai sindiran untuk Jilan.

"Kak Abel itu nggak marah sama Bang Ji. Kak Abel cuman berusaha untuk sadar kalau dia bukan orang yang Bang Ji harapkan," ucap Lia lagi. Ia perempuan, tentu saja ia paham dengan apa yang Abel rasakan dan pikirkan.

"Emang Abel itu peramal yang bisa baca pikiran abang?" sahut Jilan dengan nada sebal.

"Maksudnya?"

"Tuh, kamu aja cuma bisa ngerti Abel. Tapi, nggak bisa ngerti abangnya sendiri."

Ketidaktahuan dari Lia membuat Jilan berdecak kesal. Ia mengusap wajahnya kasar. Entah kenapa ia tidak bisa mengungkapkan sesuatu secara mudah. Kalimat yang sudah di ujung lidah, langsung tertelan lagi begitu saja.

"Bang, gengsinya turunin dikit. Kalau abang selalu bersembunyi dibalik gengsi itu, abang nggak bakal bisa dapetin apa yang abang mau."

MAS JI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang