31. Si Pemaksa

205 48 2
                                    

Happy Reading~~

*
*
*
*

"Abel apa kabar, Ji?"

Jilan menatap temannya satu itu dengan pandangan bingung. Tapi, ia tetap menjawabnya, "Baik kok."

"Udah lama lo nggak bawa dia ke kampus," kata Cio sembari tersenyum.

"Kampus itu tempat belajar. Bukan tempat penitipan anak kecil," sahut Jilan sedikit bercanda. Cio pun jadi tertawa karena hal itu.

"Dia masih imut-imut gitu nggak?"

"Nggak. Sekarang dia mah udah kayak nenek sihir. Galak banget," jawab Jilan dengan jujur. Apalagi kalau bertemu dengannya, mirip seperti ibu tiri yang jahat.

"Hahaha! Gara-gara lo pasti, kan?"

Jilan langsung cemberut. Matanya menatap Cio sinis. Ia jadi ingat beberapa kejadian-kejadian yang membuat Abel semakin marah dengannya. Entah lah, Abel jadi orang yang emosian sekarang kalau lihat dirinya sekali saja.

Padahal, kan, niat Jilan tidak jahat. Ia hanya ingin berbicara lagi dengan gadis itu. Tapi, kehadirannya susah sekali untuk diterima oleh Abel. Bahkan saat ia berhasil ngobrol lagi dengan Abel saat di rumah Anjello waktu itu saja sudah membuatnya sujud syukur.

"Kemarin Lia ceritain semua masalah yang menimpa lo sama Abel. Pas denger itu, gue jadi bingung mau sedih apa seneng," celetuk Cio yang langsung membuat Jilan melayangkan pukulan keras dibahunya.

"Maksud lo apa?!"

Cio tertawa sebentar. "Gue sedih waktu tau Abel kecewa banget sama kelakuan lo. Tapi, gue seneng karena Abel mau move on dari lo," ucapnya dengan percaya diri.

"Sialan lo."

"HAHAHAHA! Muka lo jangan sedih gitu deh."

"Siapa yang sedih coba!" cetus Jilan sembari membuka kemejanya, gerah.

"Lo cemburu, kan? Hahayyy!"

"Dih, fitnah aja."

Cio semakin tertawa ketika melihat raut wajah Jilan yang memerah, kesal. Berteman dengan Jilan dari lama, membuatnya paham sekali dengan ekspresi cowok itu ketika marah, cemburu, sedih, bahagia.

"Kok bisa ya lo sama Abel ketuker gitu sifatnya. Seharusnya tuh Abel yang gengsian karena dia cewek. Lo yang harusnya lebih blak-blakan!" kata Cio seraya menggeplak lengan Jilan. Tadinya mau langsung tabok kepala Jilan saja biar cepat sadar.

"Gue nggak gengsian, Cio!"

"Kalau lo nggak gengsian, dari dulu seharusnya Abel udah jadi pacar lo!" gertak Cio dengan sangat kesal.

"Gue nggak mau pacaran sama Abel."

"Dih, lo bego banget dah. Pantes aja Abel kecewa banget sama lo. Udah ngasih harapan besar, terus dijatuhin lagi. Wajar Abel mau move on sama lo!"

Jilan geleng-geleng kepala saat mendengar Cio yang terus mengomel. Kalau ayahnya Cio bukan seorang polisi, ia akan berani sekali memasukkan cabai ke mulut lelaki itu.

MAS JI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang