67. Naksir

98 16 0
                                    

Happy Reading~~

*
*
*
*

Angin mengembara, melewati setiap hal yang ada di hadapannya. Mengisi kekosongan yang tampak begitu terasa direlung hati seseorang.

Suara pepohonan yang bergerak ke sana ke mari tak membuat orang itu terbebas dari lamunannya. Beberapa burung yang saling bersahutan pun tidak membuat ia bergerak.

Tubuhnya bagaikan patung yang baru saja dipahat oleh seniman paling hebat. Kesendirian seakan menjadi sesuatu yang biasa untuknya. Ia tidak takut itu.

"Bel, ayo makan siang dulu."

Abel tampak tidak berselera menjawab satu ajakan dari orang lain. Ia hanya memejamkan matanya, berharap bahwa gelap yang dirasakannya bisa membuat ia menjadi lebih baik.

"Bel, lo belum makan dari tadi. Ayo, makan sama gue."

Gelengan ia berikan pada cowok itu. Bibirnya masih tertutup rapat. Mata yang biasanya bersinar cerah, saat ini seperti langit yang akan kedatangan hujan.

"Kenapa? Lo masih mikirin sidang tadi?"

"Aku nggak mau bahas itu," ucap Abel akhirnya. Namun, nada suaranya begitu datar. "Kamu duluan aja."

"Bel, katanya lo bakal bisa terima kenyataan ini."

"Bodoh kalau kamu percaya." Ujung bibirnya naik sedikit. Tangannya terlipat di depan dada. "Percaya ucapan 'aku baik-baik aja' dari orang yang baru nangis semalaman itu percuma."

Bola mata Anjello sepenuhnya tertuju pada wajah gadis itu. Baru kali ini ia tidak menemukan kecerahan dalam ekspresi Abel. "Tapi mau nggak mau lo harus bisa terima," katanya yang membuat Abel lantas menoleh ke arahnya.

"Mau tukeran posisi sama aku?"

"Bel—"

"Huh.... Percuma. Kamu nggak akan ngerti."

Jangan, kan, Anjello. Ia sendiri pun sebenarnya tidak mengerti ini semua. Ia merasa senang jika sang mami akan terbebas dari jeratan kejahatan ayahnya. Tapi di sisi lain, ini masih menjadi hal yang tidak pernah ia sangka.

Sedari kecil ia selalu merasakan keharmonisan keluarga. Jarang melihat orang tua bertengkar, apalagi sampai bermain fisik. Kehidupan enak selalu datang padanya. Kedua orang tuanya pun tidak pernah berkata kasar, tidak juga memukulinya. Namun, ia tidak menyangka bahwa dalam kehidupan ini ia harus menyaksikan sendiri bagaimana proses perceraian orang tuanya.

Ia bahkan tidak pernah tahu bahwa di belakangnya, sang orang tua tidak merasakan harmonis itu. Tidak dapat merasakan makna cinta sesungguhnya. Lalu ia harus bagaimana? Harus menerima? Tolong tunjukkan caranya.

"Gue minta maaf. Gue emang nggak paham perasaan lo gimana."

"Aku boleh senderan ke kamu?" tanya Abel dengan suara pelan.

Anjello pun mengangguk. Menegakkan bahunya agar Abel dapat bersandar dengan nyaman. "Kalau mau nangis, nangis aja."

"Nggak. Sebentar aja aku pinjam bahu kamu." Abel kembali memejamkan matanya dalam sandaran itu. Tangannya saling bertaut. Berusaha menenangkan dirinya dari pikiran-pikiran yang kalut.

MAS JI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang