52. Mengapa?

111 25 6
                                    

Happy Reading~~

*
*
*
*

Angin berhembus dengan begitu tenang. Menyapa para anak manusia dengan berbagai perasaannya. Ada yang menyambutnya dengan bahagia, ada yang menyambutnya dengan suasana hati yang sedih, ada pula yang tak peduli sebab pikirannya berada di lain tempat.

Gadis manis nan cerewet satu ini mungkin menjadi bagian yang menyambut dengan bahagia. Bagaimana tidak, ia mampu menikmati hembusan angin bersama orang terkasih. Orang yang selalu ada di sampingnya untuk merangkul, di depan untuk melindungi, di belakang untuk memeluknya.

Sedari tadi senyuman manis itu tak pernah lepas dari wajah Abel. Ia senang dapat menikmati perjalanan ini berdua dengan Jilan di atas motor Vespa antik kebanggan lelaki itu.

"Kamu punya tujuan mau ke mana?"

"Nggak. Abel ikut Mas Ji aja."

"Kalau saya ajak ke KUA mau?"

"Boleh! Mas Ji berani emangnya?"

Pemuda itu terkekeh pelan ketika melihat raut wajah sang gadis dari spion motor. "Kenapa nggak berani? Kan, kamu yang bakal jadi pasangan saya."

"Aduh! Mulut doang yang manis. Nggak ada pembuktiannya."

"Bukan nggak ada. Ada dong pastinya. Tapi nanti, tunggu saya jadi bos besar."

"Serius nggak? Kalau serius, nanti Abel bilang ke mami sama ayah," jawab Abel dengan raut menantang.

"Saya nggak serius aja, kamu sering bilang, kan, ke mami sama ayah kalau bakal nikah sama saya?"

Abel lantas tertawa karena jawaban itu. Ya tidak usah heran, dari dulu Abel memang sering kali berimajinasi lalu menceritakannya pada sang mami atau ayahnya.

"Tapi, ya, Mas, kapanpun waktunya nanti kayaknya Abel bakal tetap tunggu."

"Kok pakai kayaknya?"

"Ya emang kenapa?"

"Tandanya kamu nggak yakin bakal siap nunggu saya."

Abel menaruh dagunya pada bahu Jilan. Berusaha melihat wajah lelaki itu walau sebenarnya terhalang helm yang dipakai. "Mau banget ditungguin emangnya?"

"Ya iya, lah!"

"Emang nggak kasihan biarin Abel nunggu dari dulu?"

"Ya, kan, pada kenyataannya saya tetap bisa balas perasaan kamu. Kamu nggak jadi jatuh cinta sendirian," ucap Jilan dengan yakin.

Hal itu menimbulkan kekehan kecil dari gadis di belakangnya. "Kalau pada kenyataannya juga, nanti malah ada orang yang lebih cepat ambil Abel gimana?"

"Saya bakal nanya dulu ke dia, kenapa mau sama kamu. Setelah itu saya bakal ambil ulekan."

"Dih, ngapain ambil ulekan?"

"Buat timpuk kepala dia! Enak aja main ambil punya orang. Saya yang susah-susah jaga kamu, masa dia yang dapat akhirnya."

Tawa Abel semakin keras karenanya. Ia memukul pelan punggung Jilan. "Nanti dia meninggal dong kalau Mas Ji timpuk?"

MAS JI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang