50. Jilan, Sang Penolong

111 25 4
                                    

Happy Reading~~

*
*
*
*

Jam telah menunjukkan pukul dua siang. Jika pada biasanya matahari akan mengeluarkan sinarnya dengan senang, berbeda dengan hari ini. Matahari tampak mengumpat pada gumpalan awan hitam yang memenuhi langit.

Seorang gadis yang mengetahui hal itu hanya dapat menghela napasnya. "Mendung terus. Gimana jemuran mau cepat kering?"

Selain itu Abel juga merasa bosan hari ini. Seharusnya ia masih berada di sekolah. Tapi karena besok adalah hari pengambilan rapot, lalu hari ini hanya pembagian hadiah dari lomba-lomba di classmeeting yang diadakan selama seminggu ini.

Abel bukan tipe orang yang suka mengikuti lomba-lomba semacam itu. Ia hanya ikut lomba cerdas cermat yang diadakan kemarin lusa. Ya, itu satu-satunya lomba yang dapat Abel ikuti, dan berhasil mendapatkan juara dua.

Abel memilih untuk tidak masuk dengan alasan tidak enak badan. Biarkan teman-temannya saja yang mengambil hadiah dari lomba yang mereka ikuti.

"Nanti siapa, ya, yang ambil rapor Abel?" monolognya berpikir. Kepulangan orang tuanya belum pasti. Siapa orang yang akan ia mintai tolong untuk hari esok?

"Sha, biasanya yang ambil rapor kamu siapa?" tanya Abel pada Shakira yang sedang membuat makanan di dapur.

"Ibu bos aku, sih. Beliau biasa jadi wali aku kalau sekolah nyuruh orang tua datang ke sekolah," jawab gadis itu sembari membuka oven.

"Berarti besok yang ambil ibu bos kamu juga, ya?"

Shakira mengangguk pelan. Ia melihat raut wajah Abel yang tampak sedih. "Kamu kenapa, Bel?"

"Aku bingung. Mami belum ada kabar bakal pulang kapan. Nanti yang ambil rapor aku siapa, ya?" ungkap Abel yang benar-benar bingung. Dari awal orang tuanya pergi, setiap kali ia bertanya kapan pulang, orang tuanya hanya menjawab 'tidak lama kok'. Itu saja jawabannya.

Kata 'tidak lama' dari orang tuanya, bisa saja diartikan 'sebulanan paling'. Ya karena memang waktu sebulan adalah waktu paling cepat untuk kedua orang tuanya pulang dari luar kota.

"Biasanya emang mami kamu? Maksud aku, nggak pernah ada wali lain yang mungkin bersedia untuk gantiin mami kamu sebelumnya?"

Abel menggelengkan kepalanya kecil. "Aku nggak pernah minta orang lain buat hadirin acara di sekolah buat gantiin mami. Biasanya mami selalu bisa kok."

Helaan napas kasar keluar dari gadis itu. Kenapa, sih, maminya harus selalu mengikuti ke mana sang ayah pergi? Mami, kan, juga punya butik di sini. Mengapa tidak fokus mengurus butiknya saja dibanding harus mengikuti perjalanan ayahnya ke mana pun itu?

Karena kesibukan mereka berdua juga, Abel sering sekali menjadi nomor sekian. Kapan maminya akan berhenti mengikuti perjalanan panjang itu dan hanya fokus mengurus rumah dan anaknya?

"Udah kamu telepon?"

"Hmm.... Nggak dijawab. Udah lupa kali kalau punya anak," jawab Abel. Ia mengambil bantal sofa, lalu menekannya dimuka. Lelah.

"Nggak minta tolong sama—siapa itu cowok kemarin yang datengin kamu?"

Abel menjauhkan bantal tadi dari wajahnya, dan memeluk saja. "Mas Ji?"

MAS JI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang