Prilly baru saja keluar dari kamar mandi, setelah dimarahi oleh Ayahnya ia mengunci dirinya di dalam kamar. Rasa kecewanya pada sang Ayah semakin besar saja.Selain menuduh dirinya yang tidak-tidak, Ayahnya juga tidak memberikan kesempatan untuk dirinya menjelaskan.
Prilly tersenyum miris saat mengingat perkataan Ayahnya tentang uang bulanan yang sepeser pun tidak pernah ia dapat. Ayahnya tidak pernah bertanya bagaimana kehidupannya setelah Ibunya meninggal, tidak pernah juga beliau meluangkan waktu walaupun sekedar menanyai kesehariannya.
Bahagiakah dirinya selama ini?
Ayahnya benar-benar sudah dibutakan oleh cintanya pada sang Ibu tiri. Haruskah Prilly angkat kaki dari rumah ini? Sekaranglah waktunya?
Tok.. Tok..
Prilly menoleh menatap pintu kamarnya yang diketuk dari luar dengan pandangan tak berminat. Ia sedang tidak ingin menemui siapapun termasuk Ayahnya, jadi ia biarkan saja pintu kamar terus diketuk tanpa berniat untuk membukanya.
Prilly memilih merebahkan tubuhnya di atas ranjang lalu meraih pigura foto yang memperlihatkan betapa bahagianya kehidupannya dulu. Di sana Prilly terlihat tertawa lepas dalam gendongan sang Ayah sedangkan sebelah tangan Ayahnya yang bebas memeluk Ibunya erat.
Mereka tersenyum lebar kearah kamera."Prilly rindu Buk. Prilly rindu sama Ibu." Lirihnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Kenapa Ibu cepat sekali pergi dan meninggalkan Prilly? Kenapa Ibu tinggalin Prilly sama Ayah? Ayah nggak sayang Prilly Buk. Ayah jahat sekarang." Adunya dengan tetesan air mata yang mulai berlomba-lomba keluar dari matanya.
Prilly tidak membenci Ayahnya, ia hanya kecewa selama ini Ayahnya selalu menomorsatukan Lisa dan Amel dan sekarang Ayahnya bahkan lebih mempercayai omongan mereka daripada dirinya. Prilly tidak bermaksud untuk suudzon pada Ibu dan saudara tirinya tapi melihat senyuman penuh kepuasan diwajah Amel membuat hatinya yakin jika sebelum ia kembali mereka sudah terlebih dahulu mengompori Ayahnya.
Dan beruntungnya mereka karena sang Ayah begitu mempercayai apa saja yang keluar dari mulut mereka sedangkan dirinya, Prilly tersenyum miris jangankan dipercayai diberi kesempatan untuk menjelaskan saja tidak.
Prilly memeluk erat bingkai foto keluarganya dulu, ia memilih menenggelamkan wajahnya ke bantal supaya isak tangisnya tak sampai terdengar keluar. Prilly benar-benar merasa kesepian, jika diberi pilihan mungkin ia lebih memilih pergi bersama Ibunya daripada tinggal bersama sang Ayah yang terus memberikan luka pada hatinya.
"Ibu.. Hiks.. Ibuk..."
Sapto kembali ke kamarnya setelah Prilly tak kunjung membuka pintu kamarnya. Ia merasa menyesal karena sudah memperlakukan putrinya seperti tadi.
Begitu membuka pintu kamarnya Sapto langsung disambut oleh istrinya.
"Kamu beneran mau ketemu Bos kamu besok Mas?"
Sapto mengangguk jika bukan karena panggilan dari Bosnya mungkin besok sore ia baru kembali ke kota bersama Pak Agung tetapi karena asisten Bosnya menghubungi dirinya kemarin dan meminta dirinya menemui Bos mereka jadilah Sapto kembali terlebih dahulu.
Lisa menatap suaminya dengan kening berkerut. "Kira-kira kenapa ya kamu dipanggil Bos kamu? Kamu kerjanya bener kan Mas nggak buat masalah kamu kan?"
Sapto menatap istrinya sekilas lalu kembali melanjutkan langkahnya ke ranjang. Ia butuh istirahat, ia lelah sekali hari ini.
Lisa ikut menyusul suaminya merebahkan tubuhnya di sebelah sang suami. "Mas kamu kenapa diam aja nggak kangen sama aku?" Lisa mulai menggoda suaminya.
Sapto menatap istrinya sekilas. "Kamu lupa kalau kamu sendiri yang kerap kali menolak ajakanku?" Ucap Sapto yang membuat Lisa bungkam.
Lisa bukannya menolak ia hanya sedang subur kala suaminya mengajak berhubungan tetapi malam ini ia sudah menyiapkan semuanya terutama pil pencegah kehamilan yang akan ia tegak setelah berhubungan dengan suaminya.
"Malam ini aku yang ajak kamu mau nggak?" Lisa semakin gencar menggoda suaminya jika ia memberikan service terbaik malam ini maka besok suaminya akan semakin tunduk padanya.
Lisa benar-benar cerdas.
Wajah Sapto sontak sumringah setelah mendapat ajakan dari istrinya. "Kali ini kamu benar-benar akan mengandung benih Mas Sayang.." Katanya dengan penuh percaya diri.
Lisa tersenyum manis sedangkan didalam hati ia mati-matian sedang mengejek suaminya.
'Sampai kamu matipun aku tidak akan pernah sudi mengandung anakmu Mas! Kasihan sekali kamu!'
***
Ali sedang menatap gelapnya malam sambil meneguk minuman kalengan ditangannya. Minuman yang tadi siang diantar oleh wanita bar-bar yang berani menampar Adiknya.
Thalia masih memusuhi dirinya sampai saat ini, ia juga dimarahi oleh Ibunya karena tidak memberitahu beliau jika gadis itu datang ke kediamannya.
Mereka tadi berkumpul dimeja makan untuk makan malam bersama sekaligus menyambut kedatangan Abimanyu seolah-olah pria itu baru kembali dari medan perang padahal pria itu hanya keluar kota saja.
Dasar Ibunya.
"Mas masih mikirin perempuan yang Ibu ceritakan tadi? Siapa namanya?"
"Prilly."
"Ciee..ciee.. Aroma-aromanya ada yang bakalan move on nih." Goda Abi sambil menghempaskan bokongnya di atas kursi yang tak jauh dari Ali.
Ali masih memilih menatap langit mengabaikan sang Adik yang terus berusaha mencari perhatian darinya.
"Memangnya Prilly itu beneran nampar Adik kita Mas?"
"Hm."
"Kok Mas nggak bela Thalia?" Tanya Abi lagi pasalnya Ali ini sangat menyayangi Adik-adiknya meskipun pembawaannya kejam dan dingin tapi Ali selalu menomorsatukan keluarganya apalagi Thalia adik perempuan satu-satunya yang mereka punya.
"Thalia yang memulai." Jawab Ali singkat.
Abi menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Mami juga cerita kalau perempuan tadi juga pernah dihina oleh Thalia bahkan Thalia sampai menghina Ibunya." Abi ikut menatap langit malam. "Thalia kenapa sih sebenarnya Mas? Makin hari kok sikapnya makin menjadi-jadi saja." Tanyanya namun terdengar seperti keluhan ditelinga Ali.
Ali menghela nafasnya, tiba-tiba ia merasa bersalah karena terlalu larut dalam ratapannya sehingga ia mengabaikan Adik-adiknya padahal jelas-jelas Ayahnya dulu berpesan jika dirinya harus menjaga Adik-adiknya dengan baik.
Ali merasa gagal menjalankan amanah terakhir dari almarhum Ayahnya.
"Mas.."
Ali menoleh menatap Adiknya, ia baru sadar jika wajah Abi jauh lebih dewasa sekarang, entah berapa lama ia abai pada orang-orang terkasihnya ini.
"Kata Mami Mas mau dijodohkan sama salah seorang putri mandor yang bekerja di proyek kita." Ali membulatkan matanya. Kenapa Ibunya sampai bertindak sejauh itu?
"Mami nggak cerita apapun sama Mas." Jawab Ali lesu.
Abi mengedikkan bahunya. "Memang ini terdengar sadis bagi Mas tapi menurutku sebaiknya Mas terima saja toh Mbak Amara nggak akan pernah kembali lagi ke pelukan Mas." Abi tahu jika ia kembali membuka luka Kakaknya dengan membahas wanita yang masih begitu dicintai oleh sang Kakak namun niat Abi baik jika tidak sekarang mau sampai kapan Masnya hidup seperti ini?
Ali berhak bahagia dengan atau tanpa perempuan bernama Amara itu. Walaupun suatu saat nanti wanita itu kembali Abi berharap jika masa itu tiba Masnya sudah menemukan kebahagiaan yang lain.
Amara sama sekali tidak pantas untuk Kakaknya. Perempuan itu jahat!
"Mas mau masuk dulu." Ali segera menekan tombol di kursi rodanya lalu beranjak meninggalkan Abi yang menatap kepergian Kakaknya dengan pandangan terluka.
Abi sama terlukanya dengan Ali hanya saja ia tak pernah memperlihatkannya. Abi ikut merasakan kesakitan yang Kakaknya rasakan dan sekarang ia ingin Kakaknya kembali membuka hatinya dan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.
"Aku harap Mas tidak bertindak diluar batas dan menerima perjodohan ini. Semoga ini jalan terbaik yang akan membawa Mas pada kebahagiaan."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Manisnya Luka
RomanceSeorang gadis yang harus merelakan masa depannya demi sebuah perjodohan yang tak lain hanyalah kedok sang Ibu tiri untuk mendapatkan uang demi kebahagiaan putri kandungnya. Prilly gadis mungil berparas ayu harus menerima takdirnya dengan menikahi se...