Bab 15

2K 257 9
                                    


Sejak pagi kediaman Sadewa terlihat sangat riuh dan itu berasal dari suara sang Nyonya. "Tolong semua bahan-bahan makanan di kulkas kalian keluarkan dan olah menjadi makanan paling lezat! Kita akan kedatangan tamu spesial malam ini." Suara Julia terdengar memenuhi area dapur dimana para pekerja juga chef yang sengaja ia datangkan sudah berdiri rapi di hadapannya.

Mereka tampak menganggukkan kepalanya. "Siap Nyonya."

"Kenapa rame-rame padahal masih pagi?" Thalia baru saja turun dari atas menuju ruang makan. Pagi ini dia ada kelas pagi sehingga ia bangun lebih awal.

Seandainya saja bukan mata kuliah wajib ia akan lebih memilih membolos untuk hari ini. Kepalanya pusing sekali setelah nyaris semalaman ia habiskan waktu dengan menangisi laki-laki tidak berperasaan itu.

"Nanti malam kita akan kedatangan tamu penting Sayang." Jawab Julia dengan senyuman merekah. "Siapa?" Thalia sudah tidak terlalu memusuhi Ibunya lagi perihal tampar menampar tempo hari.

"Calon istri Mas kamu."

"Mas Abi?"

"Mas Ali dong."

Thalia menatap Ibunya lamat-lamat. "Mami beneran mau jodohin Mas Ali?" Julia mengangguk sebelum menjawab ia terlebih dahulu meminta salah seorang pelayannya untuk menyiapkan sarapan pagi untuk anak-anaknya.

"Mami bercanda kan?"

"Tidak Sayang. Sudah saatnya Mas kamu melanjutkan hidupnya. Mami sudah cukup memberi waktu untuk Mas Ali meratapi nasibnya jadi sekarang sudah waktunya Mas kamu bangkit dan melupakan masa lalunya." Jawab Julia penuh keyakinan.

"Terus siapa perempuan yang akan Mami pilih sebagai calon istri Mas Ali?" Thalia berharap bukan perempuan sundal yang berani menamparnya tempo hari. Demi Tuhan, Thalia tidak akan pernah memberikan restunya jika Maminya memilih perempuan itu.

"Prilly, namanya Prilly." Sahut Julia dengan senyuman merekah.

"Jangan bilang wanita jalang itu yang akan Mami pilih sebagai calon menantu Mami?"

"Jaga bicara kamu Thalia! Berapa kali Mami bilang jangan lancang menghina orang lain!" Teguran Julia sama sekali tidak diindahkan oleh putri bungsunya.

"Kalau perempuan itu yang Mami pilih sebagai calon istri Mas Ali, Mami jelas salah besar! Mbak Amara jelas lebih baik daripada wanita miskin itu!" Bentak Thalia yang nyaris saja mendapat tamparan dari Ibunya.

Sekuat tenaga Julia menahan dirinya supaya tidak menjatuhkan tangannya kembali pada putrinya. "Pergilah Thalia! Tugasmu hanya belajar dan selesaikan pendidikan kamu dengan baik, jangan urusi sesuatu yang bukan urusan kamu! Paham?"

"Jelas perjodohan Mas Ali ini menjadi urusanku Mi. Mas Ali Kakakku dan aku tentu tidak akan membiarkan Kakakku menderita hanya karena Mami salah memilih calon menantu." Thalia benar-benar keras kepala jika bukan karena dihalangi oleh Abi yang tiba-tiba datang mungkin pagi ini gadis itu akan kembali mengawali harinya dengan penuh tangisan.

"Mi sabar Mi! Jangan main tangan." Julia menghempas tangannya dari pegangan putra keduanya. Abi menatap Ibunya lalu Adiknya yang terlihat masih berdiri tegak seolah menantang Ibu mereka.

"Pergilah Thalia! Jangan membuat kekacauan pagi-pagi buta begini!" Thalia menatap Kakaknya dengan pandangan terluka. Kenapa selalu dirinya yang disalahkan?

Memangnya ia salah apa? Thalia hanya ingin menolong Kakaknya itu saja.

"Ternyata memang tidak ada yang menyayangiku di rumah ini!" Senyum pahit Thalia terbit tanpa menunggu jawaban atau mungkin bentakan dari Kakak dan Ibunya, ia sudah terlebih dahulu berlari meninggalkan kediamannya dengan hati terluka.

Manisnya LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang