Bab 10

2.1K 265 13
                                    


Keesokan harinya Sapto memenuhi panggilan dari Bosnya yang ingin bertemu langsung dengannya, sepertinya ada kepentingan mendesak sehingga Bosnya meminta dirinya menemui beliau secara personal seperti ini padahal nanti malam mereka juga akan bertemu di jamuan makan malam.

"Permisi Mbak saya Sapto ingin bertemu dengan Pak Keenan." Sapto berkata pada salah seorang resepsionis yang ada di sana.

"Sudah membuat janji terlebih dahulu Pak?" Tanyanya sopan.

Sapto sedikit kebingungan karena sebelumnya ia tidak pernah membuat janji apapun, ia kesini hanya untuk memenuhi perintah Bosnya.

"Saya diminta oleh Ibu Bos untuk menemui beliau Mbak dan saya dihubungi oleh Pak Keenan sendiri." Jelas Sapto lagi.

"Baiklah sebentar ya Pak saya akan hubungi Pak Keenan terlebih dahulu."

"Baik Mbak."

Sapto meninggalkan meja resepsionis, pria paruh baya itu terlihat menduduki salah satu kursi yang memang disediakan di loby kantor.

Sapto kembali mengingat bagaimana pertengkaran antara dirinya dan Prilly pagi tadi. Putrinya ternyata benar-benar sudah berubah seperti istrinya katakan.

"Sarapan dulu kamu!"

"Prilly nggak lapar!"

"Kamu mau kemana Prilly? Jangan kurang ajar kamu ya sama Ayah!" Sapto tak kuasa menahan teriakannya ketika melihat putrinya sama sekali tidak menggubris perkataannya.

Prilly menoleh menatap Ayahnya lalu tersenyum kecil. "Saya harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup saya." Jawabnya sebelum beranjak meninggalkan rumah yang benar-benar sudah seperti neraka baginya.

Teriakan Sapto sama sekali tidak ia gubris dan satu hal yang mengganjal di hati Sapto sampai saat ini, Prilly berkata ia harus bekerja karena harus memenuhi kebutuhannya apakah uang yang selama ini ia kirimkan tidak cukup?

Sapto terlalu larut dalam pikirannya sehingga tidak sadar jika Keenan sudah berdiri di hadapannya. Sapto terlihat gelagapan. "Maaf Pak saya nggak sadar Bapak disini." Katanya tak enak hati.

"Nggak apa-apa Pak. Silahkan Ibu sudah menunggu Bapak di ruangannya." Sapto mengikuti langkah Keenan menuju ruangan Bosnya dengan jantung berdebar kencang.

Jujur Sapto takut jika ia dipanggil karena melakukan kesalahan ketika berkerja, jika memang benar begitu bagaimana jika ia dipecat? Apa yang harus ia lakukan? Bagaimana dengan cita-cita putrinya Amel yang ingin bersekolah di jurusan kedokteran.

"Silahkan Pak Sapto."

Tanpa sadar kini Sapto sudah tiba didepan pintu ruangan Bosnya. Kedua lututnya semakin bergetar, ia benar-benar gugup sekaligus cemas.

"Ibu Julia sudah menunggu Anda di dalam."

"I--ya Pak. Terima kasih."

***

Sejak menginjakkan kakinya di toko wajah Prilly tak sedikitpun terlihat ceria seperti biasanya. Wanita itu terlihat lesu dan jangan lupakan matanya yang bengkak dan sembab.

Lyra yang sejak tadi memperhatikan sahabatnya sudah tidak tahan lagi sehingga akhirnya ia menarik tangan Prilly mengajak sahabatnya ke belakang tepatnya ke ruangan kecil yang biasanya mereka gunakan untuk istirahat atau shalat.

"Kenapa Ra?"

"Elo yang kenapa? Lo sakit?" Tanya Lyra khawatir. Prilly menggelengkan kepalanya. "Gue baik-baik aja." Jawabnya singkat.

"Jangan bohong lo sama gue! Gue tahu lo lagi nggak baik-baik aja. Sekarang cerita sama gue lo kenapa? Lo diapain sama dua kuntilanak itu hm?" Todong Lyra lagi.

Prilly menghela nafasnya, jika bersama Lyra ia jelas tidak bisa berbohong sahabatnya ini terlalu peka.

"Semalam bokap gue balik dan ya begitu." Prilly tersenyum kecut yang langsung dipahami oleh Lyra.

"Dua nenek lampir itu pasti ngejelek-jelekin lo sama bokap lo kan?"

"Entahlah Ra. Gue sekarang bingung kayaknya gue memang benar-benar harus pergi dari kehidupan mereka deh." Ujar Prilly disertai helaan nafas panjangnya. "Dulu gue pikir nggak apa-apa kalau gue dijajah sama nyokap tiri gue toh nanti pas bokap gue balik ke rumah mereka nggak akan berani lagi nindas gue tapi nyatanya justru bokap gue sendiri yang nindas gue Ra." Prilly tidak ingin menangis sungguh tapi ketika membayangkan kembali bagaimana ia tersisihkan oleh Ibu dan Adik tirinya membuat dadanya sakit dan yang paling menyakitkan dari itu semua Prilly harus menerima kenyataan jika dirinya sudah kehilangan sosok Ayah, sosok pahlawan yang selama ini menjadi pelindungnya.

Lyra membawa Prilly ke dalam pelukannya memeluk erat sahabatnya. "Sabar Pri! Gue yakin sebentar lagi kebahagiaan lo akan datang. Gue yakin." Bisik Lyra yang ikut meneteskan air matanya.

***

"Lo nggak kuliah Dek?" Tanya Abi saat melihat Adik bungsunya bersantai sambil menonton televisi.

Thalia menggelengkan kepalanya tanpa menoleh kearah Abi.

"Lo kenapa?"

"Gue bosan disalahin terus sama Mami." Ujar Thalia acuh. "Padahal yang salah wanita jala--"

"Thalia!!"

"Apa? Mas Abi mau bela perempuan miskin itu juga iya?!"

"Gue nggak ngebela siapa-siapa tapi lo benar-benar udah keterlaluan Thalia!" Abi menegaskan bahwa apa yang dilakukan Adiknya salah.

"Gue nggak ngerasa keterlaluan dia yang salah duluan nampar gue!"

"Tapi itu karena lo duluan ngehina dia! Lo mikir dong pakek otak lo gimana perasaan lo kalau ada orang asing yang tiba-tiba ngehina Mami. Sakit hati nggak lo?" Thalia bungkam ia tidak bisa membalas perkataan Abi yang jelas-jelas sangat menyudutkan dirinya.

"Lo nggak tahu gimana malunya gue pas di tampar gue."

"Itu karena lo yang selalu ngedepanin ego lo. Coba lo ingat sampai usia lo sekarang pernah nggak lo ngerasa salah atau berapa kali lo pernah minta maaf tanpa menyudutkan orang lain terlebih dahulu?" Abi terus mencerca Adiknya. "Jangan hanya karena lo diberi kemudahan oleh Tuhan lahir dari keluarga berada lo bisa bebas bersikap sama orang lain Dek. Mereka juga punya hati kalau seandainya gue yang ada di posisi cewek itu udah habis lo di tangan gue." Ujar Abi sebelum beranjak meninggalkan Thalia yang menatap kepergian Kakak keduanya dengan tatapan sulit diartikan.

Di dalam kamarnya terlihat Ali baru saja selesai membersihkan dirinya meskipun Ibunya menugaskan seorang pelayan yang khusus untuk menjaga dan menyiapkan segala keperluan putranya namun Ali sudah terbiasa melakukan semuanya sendiri sehingga mereka-mereka yang dibayar untuk menjaganya hanya bisa berdiri didepan kamar Ali.

"Mami harap kali ini jangan tolak usulan Mami Nak. Kamu harus bangkit dan Amara bukan lagi alasan untuk kamu jadikan acuan sebagai masa depan kamu. Wanita itu sudah mencampakkan kamu jadi sudah waktunya kamu bangkit dan memulai kembali hidupmu."

Ali yang sedang mengeringkan rambutnya menghela nafas berat. "Gue benar-benar terpaksa melakukan semua ini." Katanya sambil menatap langit yang hari ini terlihat sangat cerah.

"Kalaupun gue turutin keinginan Mami gue nggak yakin bisa ngelepas Amara. Amara terlalu berharga untuk gue." Lirih Ali pilu. Seandainya saja ia tidak kecelakaan mungkin sekarang ia dan Amara sudah menikah bahkan mungkin sudah memiliki anak.

Andai saja Amara tidak meninggalkan dirinya mungkin sekarang ia adalah salah satu pria yang paling bahagia di dunia ini.

"Maaf Tuan saatnya Anda sarapan dan minum obat."

"Saya akan sarapan tapi tidak dengan meminum obat."

"Tapi---"

"Jangan bantah saya! Saya paling tidak suka ada yang membantah ucapan saya ngerti kamu?!"

"Ba--ik Tuan. Maaf.." Pelayan itu segera beranjak meninggalkan kamar Ali setelah meletakkan nampan di atas meja.

Ali meraih obat-obat yang dikhususkan untuknya lalu membuang semuanya ke tong sampah. Dia tidak butuh semua itu! Yang ia butuhkan cintanya kembali. Amara, ia benar-benar merindukan wanita itu.

*****

Manisnya LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang