Es-asa-te-utu Satu

9.2K 926 91
                                    

"Abigail, bagaimana keadaan Elena, Nak?"

Entah siapa yang bertanya, suaranya begitu asing di telinga, membuat aku ingin sekali membuka mata dan melihat siapa pemilik suara itu. Namun, rasa nyeri yang mendominasi seolah melarang apa yang ingin kulakukan saat ini.

"Sudah lebih baik. Mama nggak perlu khawatirin dia."

Rasa penasaran semakin membuatku ingin melihat siapa orang yang berada di dekatku. Suara mereka benar-benar tidak familier di telinga. Asing. Perlahan aku mencoba membuka kelopak mata, rasanya berat sekali. Namun, tetap kupaksakan demi melihat keadaan sekitar. Ya, siapa tahu kan aku tiba-tiba diculik dan dijadikan istri oleh mafia tampan. Oke, halunya sudah kelewatan.

Silau cahaya lampu menyerobot masuk menusuk retina, aku refleks menyipitkan mata agar mataku terbiasa dengan bias yang menyilaukan. Aku mengerjap berkali-kali, kulihat tubuh jangkung seorang laki-laki yang mengenakan kemeja biru berdiri di samping ranjang. Tatapan matanya tertuju pada ponsel.

"Baguslah kalau kamu sudah sadar."

Aku terlonjak. Tentu saja, kupikir laki-laki yang masih fokus pada benda sejuta umat itu tidak menyadari pergerakkanku, tapi ternyata aku salah, dia bukan tidak menyadari, hanya saja tidak peduli.

Mencoba mengabaikan ucapannya yang terdengar sangat dingin itu, aku mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan. Jelas ini bukan kamarku. Kamar ini begitu mewah, desainnya sangat cantik sampai aku merasa tengah berada di istana khayalan. Iya, khayalanku dulu kalau mau bikin rumah.

"Saya mau ke kantor. Ada urusan pekerjaan. Kalau kamu butuh sesuatu, telepon saya. Jangan Alan, dia sudah beristri. Paham, kamu?" Dia berkata datar, sedatar papan triplek. Huh! Memangnya dia siapa? Dan apa tadi katanya? Jangan mengubungi Alan? Boro-boro menghubungi, kenal saja tidak. Lantas bagaimana caranya aku menghubungi? Dasar cowok aneh.

Eh, tapi tunggu dulu. Tadi sewaktu aku masih dalam mode malu-malu kocheng untuk membuka mata, ada yang menyebutkan nama Elena. Lalu sekarang pria yang sudah keluar dari kamar elit ini baru saja menyebutkan nama Alan. Serius, aku merasa sangat tidak asing dengan nama-nama itu--

"Nggak mungkin!"

Aku ingat betul semua nama yang tercantum dalam novelku. Aku bahkan ingat detail-detail tempat yang ada di sana serta kalimat-kalimatnya. Tapi ... semua ini terlalu mustahil untuk menjadi nyata. Tidak mungkin kan aku bertemu tokoh-tokoh yang kuciptakan di dunia ini.

"Jadi sebenarnya aku ada di mana?" Masa iya, sih, aku cuma mimpi? Bertemu cowok ganteng, jadi istri orang, dan--tunggu dulu. Bukankah aku baru saja dinikahkan ibu? Tapi bagaimana mungkin aku bisa berada di tempat asing ini?

"Hais! Aku benar-benar lupa apa yang terjadi." Rasanya tidak ada satu kejadian pun terlintas di benak selain ucapan ibu yang mengatakan kalau beliau telah menikahkanku dengan pria pilihannya, tanpa persetujuanku, setelahnya aku tidak mengingat apa yang terjadi.

"Kayaknya aku harus keliling rumah dulu, deh." Ya, itu mungkin akan sedikit membantu otak kecilku untuk berpikir. Semoga.

Baru saja aku membuka pintu kamar, tiba-tiba seorang perempuan yang mengenakan seragam seperti pelayan datang menghampiriku. Ia menatapku dengan khawatir, seolah akan terjadi sesuatu padaku.

"Nyonya mau ke mana? Sebelum berangkat kerja, tuan tadi berpesan untuk menjaga Nyonya, memenuhi semua hal yang dibutuhkan Nyonya." Belum juga aku bertanya kenapa dia menghalangi jalanku, suara macam burung beonya sudah menjejal telingaku.

"Pengap. Saya cuma mau keliling rumah." Kupikir setelah mengatakan demikian, pelayan itu sudah tidak lagi merecokiku. Namun, nyatanya, dia justru mengikuti ke mana pun aku melangkah. Ini menyebalkan! Dia pikir aku buronan yang harus dijaga agar tidak kabur?

"Kamu." Aku berhenti melangkah, lalu memutar badan seratus delapan puluh derajat hingga berhadapan dengan perempuan yang kutaksir umurnya sekitar dua puluh lima tahunan. "Siapa nama kamu?"

"Anah, Nyonya." Dia menjawab seraya menundukkan pandangan. Sebenarnya, aku sangat tidak suka berbicara dengan orang yang menatap ke lantai, tapi karena terlalu malas mendebat, lebih baik ak--tunggu dulu, tadi siapa nama pelayan itu? Anah?

Aku meneguk saliva susah payah. Kening mulai mengeluarkan keringat dingin. Tidak mungkin kalau ini hanya kebetulan. Sejak mataku terbuka aku hanya mendengar orang-orang yang kutemui menyebut nama-nama tokoh yang ada di novelku.

Lantas, kalau ini bukan kebetulan, apa mungkin aku masuk ke dunia novel? Ah, tapi ini terlalu mustahil! Bagaimana mungkin aku bisa berada di dunia novel? Tidak, aku yakin aku sedang bermimpi. Iya, ini pasti mimpi. Namun--

BRAK!

"Aw!" Aku meringis seraya mengangkat satu kaki yang baru saja bercumbu mesra dengan pot bunga. "Siapa yang naroh pot di sini? Astaga, kakiku!" Sumpah, rasanya sakit sekali sampai-sampai mataku berair.

Anah meringis. "Nyonya yang meletakkan di situ."

"Apa?" Jadi aku yang meletakkan? Sejak kapan? Bahkan aku tidak pernah sekali pun menginjakkan kaki di rumah mewah ini. "Saya ngg--"

"Elena? Sayang, kamu mau ke mana? Ayo kembali ke kamar, Nak. Kondisi kamu masih belum stabil." Seorang wanita paruh baya menghampiriku. Ucapannya begitu lembut dan--tunggu dulu, tadi dia memanggilku apa?

"Elena?" panggilnya lagi.

E-Elena? Jadi, nama Elena itu ditujukan padaku? Tapi, hey! Sejak kapan namaku diganti Elena? Namaku Clara Abimana. Nama sakral yang sangat disukai ibu, karena ada nama almarhum bapak di belakangnya.

"Sepertinya kecelakaan itu membuat ingatan menantu kesayangan mama ini terganggu. Ya sudah, Anah, tolong jaga Elena, ya. Jangan sampai ada hal buruk terjadi."

Kecelakaan? Mama? Menantu?

Hais! Sebenarnya aku ada di mana? Dan siapa wanita yang baru saja menyebutku sebagai menantunya? Otak kecilku benar-benar tidak bisa mencerna apa yang terjadi.

"Abigail, Elena, Alan, Anah, kecelakaan," gumamku setelah punggung wanita paruh baya itu menghilang dari pandangan. "Novelku. I-ini ... nama-nama yang ada di novelku. Dan Elena ..." Aku menuntup mulut agar tidak mengeluarkan suara teriakan yang membuat Anah atau orang yang mendengar bertanya-tanya.

Dan sepertinya aku mulai menyadari satu hal. Setiap ruangan yang kulewati dan kamar yang tadi kutempati sangat mirip dengan ruangan yang kurancang untuk novelku. Bahkan kombinasi warnanya pun sama, tidak ada bedanya sama sekali dengan rancangan yang aku buat.

Apa mungkin aku masuk ke dunia novel dan terjebak dalam tubuh Elena? Si antagonis yang berstatus sebagai pelakor alias perebut laki orang?

Dan kecelakaan itu, awal di mana terbongkarnya hubungan Elena dan Alan.

□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□

Tbc ...

Aku nyaris lupa napas baca buat revisi typo. Gilazeee, tulisanku keren juga yak🤣🤣🤣 btw, ini pertama kalinya aku nulis pake pov 1, gatau gimana, tapi aku berharap feelnya tetap dapat yaaa.

Kasih apresiasi lagi dong!

Tekan bintang yang ada di pojok kiri, terus jangan lupa jejalin komentar biar kelihatan batang hidung kelen.

Btw, aku ganti nama Malik jadi Alan. Kalo nemu aku masih typo ngetik, harap sadarkeun.

See u yaaaaa.

Salam, Zea.

10.05.2022

Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang