Em-pe-apat Empat

7.1K 782 33
                                    

Aku nggak mau tidur di kamarnya!

Astaga, bisikan apa itu tadi? Tidak mungkin kan kamar semewah milik Elena ini berhantu? Lagi pula, aku juga tidak pernah menyematkan kata hantu dalam tulisanku. Dan ada apa dengan kakiku? Kenapa sedaritadi terus berputar-putar di kamar tanpa mau diajak kompromi untuk keluar?

"Wahai kaki yang budiman, ada apa gerangan?" Aku sudah seperti orang gila yang berbicara dengan anggota tubuh. Ya, habisnya tidak ada angin, tidak ada hujan, kaki mulus Elena ini tidak mau di bawa keluar kamar. Bahkan aku sudah menyeret, tapi tetap saja tidak bisa. Seolah ada magnet yang menarik ke dalam dan aku tidak mengerti apa yang terjadi.

Belum lagi aku selesai dengan urusan perkakian yang mendadak bertingkah aneh, tiba-tiba kamar Elena terbuka menampilkan sosok pria paling menyebalkan sedunia pernovelan, hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya.

"Kamu ngapain ke sini, Mas?!" Astaga, Jantung. Apakah masih aman? Abigail ini memang tidak waras.

Dia memang tidak waras.

Suara apa lagi itu?

Astaga! Kamar Elena ini memang sangat aneh. Sedaritadi ada saja suara-suara halus yang berbisik di telinga hingga membuat aku was-was. Ya, siapa tahu kan kalau ternyata di kamar Elena ini bekas kuburan orang-orang jahat.

"Carikan celana dalam saya." Datar, lempeng, tanpa beban. Gampang sekali dia mengucapkan kalimat itu, sementara mataku nyaris melompat saking terkejutnya mendengar perintah Abigail.

"Kenapa harus aku?" Aku menutup mulut. Sumpah, itu bukan aku yang ngomong. Suaraku seperti terkeluar dengan sendirinya tanpa sempat kucegah.

"Ya, karena kamu istri saya. Wajar kan kalau saya meminta bantuan pada istri saya? Atau kamu mau saya minta bantuan sama istri orang? Begitu?"

Baiklah Clara, kamu harus tenang. Kendalikan diri dan turuti perintah Abigail agar mulutnya berhenti nyinyir. Karena jujur, kupingku sudah panas mendengar ocehan pedasnya.

Mendengkus kesal, aku meminta Abigail untuk beralih agar tidak menghalangi jalanku. Namun, seperti biasa, bukannya menyingkir Abigail justru meletakkan sebelah tangannya di kosen seraya menatapku datar.

"Memangnya kamu tau di mana letak celana dalam saya?"

Palu mana palu? Ingin sekali rasanya kugetok otak Abigail. Bisa-bisanya dia melontarkan pertanyaan unfaedah seperti itu. Anak kecul juga tahu kalau celana dalam, baju, atau benda-benda yang berfungsi menutupi tubuh di letakkan dalam lemari.

"Di lemari, 'kan? Memangnya kamu mau naruh benda penutup pusaka sakti itu di mana lagi? Di meja makan? Lawak banget." Tanpa perasaan aku menendang tulang keringnya hingga membuat pria itu mau tidak mau menyingkir dari depan pintu.

Terdengar ringisan serta umpatan dari Abigail. Namun, aku terlalu malas untuk peduli dan terus berjalan ke arah kamar yang berada di sebelah kamarku.

Aneh sekali, kenapa setelah aku adu mulut dan menendang Abigail, kakiku bisa kembali diajak kompromi? Ah, sudahlah, lupakan saja. Seharian ini otakku sudah sangat lelah karena terus diajak berpikir, berpikir, dan berpikir sampai aku mengerti kenapa bisa berada di dunia novel ini.

Dan sekarang, aku harus memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa kembali ke dunia asalku.

"Semua nggak akan serumit ini kalau aku masuk ke tubuh protagonis." Aku bergumam seraya membuka laci yang ada di dalam lemari besar milik Abigail. Kosong, tidak ada satu pun benda penutup pedang sakral itu di sana.

Bukan Clara namanya kalau langsung menyerah begitu saja. Mata serta tanganku menjelajah isi lemari. Di rak paling atas hanya ada kaos putih dan hitam yang terlipat rapi, sementara di rak nomor dua hanya ada celana training, di rak paling bawah kosong. Astaga, di mana suami Elena itu menyimpan kolornya?

Mendengkus kesal, aku berdiri, kemudian membuka lemari tengah. Tidak ada benda yang kucari, yang ada hanya selimut tebal yang masih terbungkus alias masih baru.

"Ini kolor Mas Abi di mana, sih?" Lelah, aku mulai merasa dikerjai oleh laki-laki itu. Namun, suara berat Abigail yang menyentuh indra pendengaran membuat tanganku yang hendak membuka lemari terhenti.

"Itu lemari kosong. Baru aja saya kosongin karena kamu mau pindah ke kamar saya. Jadi kamu nggak akan bisa nemuin celana dalam saya di sana."

Ya, terusss, fungsi lo minta cariin kolor sama gue itu apa?

"Terus di mana? Lagian, kalau kamu tau di mana dan tinggal pakai, kenapa harus nyuruh aku, sih? Ngerepotin." Aku menatap kesal ke arah Abigail yang masih berdiri sembari bersedekap dada. Pun dengan handuk putih yang setia melilit di pinggang, membuat aku selalu berdoa agar tidak ada tragedi yang memalukan.

Abigail menggeleng pelan sembari terkekeh, pria itu lantas berjalan ke arah ranjang lalu menunduk. Sementara tangannya menarik laci yang menyatu dengan ranjang. "Semua celana dalam, saya simpan di sini. Semua stelan kantor saya gantung di sana." Jari telunjuknya mengarah ke samping lemari besar yang ada di belakangku. "Sementara sepatu-sepatu saya berada di lantai bawah, tepat di bawah tangga."

"Fungsi kamu ngasih tau ini itu apa, sih, Mas? Lagi gabut, ya?" Jujur, aku capek dengerin Abigai ngoceh sambil nunjuk ini itu, sementara aku nggak tahu tujuan dia apa.

"Tugas baru buat kamu. Siapin baju saya setiap mau pergi. Baik itu kerja, jalan, atau ke mana pun itu, kamu wajib nyiapin baju 'suami' kamu," ucapnya seraya menekankan kata suami.

Sialan. Dia pikir aku babu apa, disuruh nyiapin ini itu?

"Aku bukan babu kamu, Mas."

"Yang bilang kamu babu saya siapa, Elena? Kan kamu sendiri yang bilang kalau kamu itu 'istri' saya, dan saya 'suami' kamu. Dan menurut agama, istri itu harus melayani suaminya. Bagian nyaipin baju itu termasuk layanin suami, 'kan?"

Ya, iya, sih. Apa yang dia ucapkan benar. Tapi masalahnya, aku ini bukan istrinya. Sekali lagi, bukan istrinya. Aku ini Clara, ibunya, ibu yang melahirkan karakter-karakter yang ada di novel ini. Ah, sudahlah. Dijelaskan pun Abigail tidak akan mengerti.

"Ya, kan ada Anah. Dia bisa, kok, bantu kamu," kataku tak mau kalah.

"Kamu mau Anah jadi istri kedua saya?"

Pertanyaan konyol yang terlontar dari mulut Abigail membuat aku terbelalak. Apa-apaan istri kedua? Aku hanya menyarankan Anah yang menjadi babunya, bukan istrinya.

"Nggak usah ngadi-ngadi, Mas. Satu istri aja kamu nggak becus ngurusnya. Terus mau nambah satu lagi? Nggak usah ngayal!" Elena saja dia telantarkan. Sibuk dengan urusan kantor, tanpa memberi sedikit saja waktu untuk quality time bersama istri. Cuek tingkat akut, nyinyir level mampus. Modelan begitu mau nambah istri? Mau digetok otaknya sama Tuhan biar sadar?

"Nggak becus ngurus istri kamu bilang?" Abigail tertawa sumbang. "Lalu apa kabar sama kamu yang kerjaannya keluyuran sama suami orang? Ngaca dulu makanya. Kamu nggak lebih baik dari saya." Setelahnya Abigail berlalu dari hadapanku, lalu mengambil pakaiannya dari dalam lemari dan pergi ke kamar mandi.

"Setan! Anak durhaka kau!" Argh! Kalau Abigail sudah dalam mode nyinyir, maka otakku akan sulit untuk berpikir.

"Baiklah, Clara, tenangin diri kamu. Mulut itu laki emang nggak pernah bener dari sananya."

Kuhempaskan tubuh di kasur, mataku menatap langit-langit kamar sementara otak kembali berpikir, mengingat kembali isi novel Belamour di bagian 1/4 awal dari novel. Bagian di mana Elena baru saja ketahuan berselingkuh oleh Abigail, lalu mengalami kecelakaan. Dan sekarang, aku tidak tahu di mana jiwa Elena berada.

"Aku harus segera menyusun rencana agar bisa kembali ke dunia nyata."

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

Tbc...

Ada horor2nya dikit. Maklum, efek KKN di desa penari. Wkwkwkwkwk.

Kira-kira apa ya yang bakal Clara lakuin biar bisa kembali ke dunia nyata dan mengubah takdir Elena agar nggak metong?

Lanjut?

See u besok

Salam, Zea♡

Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang