Sembilan Belas (21+)

5.2K 405 16
                                    

Remember!

Wahai pembaca budiman, meskipum adegan ini tidak sepanas romance adult🤣🤣🤣 aku tetap ngasih peringatan buat para bocil agar tutup mata alias skip adegan ini.

Pssttt! Adegannya di akhir bab. Jadi, bisa aja diskip kalo ga mau anu🤣

Happy reading!

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

Elena's PoV

Malam menggairahkan ... astaga! Bagaimana caranya aku melarikan diri?!

Sepanjang makan malam, semua terasa menegangkan. Mi goreng dengan saus baby cumi yang harusnya jadi makanan favoritku, kini terasa hambar. Bahkan rasa pedas yang menyatu dengan nasi hangat tidak membuat aku merasa nyaman, sebab tatapan hangat Mas Abi justru membuatku panas dingin.

"Elena ... kamu sakit?" Tangan kiri Mas Abi menyentuh lembut bibirku. Astaga, Mas! Sentuhan macam ada sengatan listriknya. Tubuhku mendadak bergetar karena sentuhan hangat itu. "Bibir kamu pucat."

"A-aku ...." Sial! Kenapa aku tiba-tiba kehilangan suara? Tenggorokanku bahkan terasa sangat kering padahal aku baru menandaskan lemon tea. "Mas, nggak usah liatin aku terus."

Duh, mulut. Kenapa harus spontanitas bilang begitu, sih? Lihat, sekarang Mas Abi hanya terkekeh ringan menanggapinya. Aish! Dia pasti berpikir aku malu-malu kucing sama suami sendiri. Nyata, aku ketar-ketir karena memikirkan malam bergairah yang dimaksud oleh Mas Abi.

Aku nggak mau ngelakuin itu, maksudnya, aku nggak mau melewatkan malam yang panas dengan Mas Abi sekarang. Entahlah, aku ... belum siap? Ah! Aku bahkan tidak tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya. Apakah memang belum siap atau hanya karena grogi seperti layaknya seorang wanita yang baru menyandang status sebagai istri?

"Kamu lucu." Mas Abi terkekeh kecil, lantas pria itu mencuci tangannya usai menghabiskan lauk yang tersisa di piring. "Ayo habisin makannya, biar mejanya bisa diberesin."

Layaknya anak kecil yang patuh pada perintah ibu, aku segera menghabiskan mi goreng yang tersisa. Setelah aku berhasil memasukkan semua makanan yang ada di piringku ke mulut dan mengunyah perlahan hingga menelan, barulah Mas Abi bertepuk tangan dua kali, seolah memberi isyarat pada seseorang.

Dan seperti dugaanku, beberapa pelayan--termasuk Anah--mendekati pondok bambu, lalu membereskan meja persegi yang ada di hadapan kami secepat kilat. Tidak lupa mereka mengangkut meja dan menggantinya dengan meja bundar terbuat dari rotan, ditambah beberapa toples camilan serta air mineral yang mereka letakkan.

Tunggu dulu, tadi perasaan aku tidak melihat siapa pun di sini. Lantas mereka datangnya dari mana?

"Mas, mereka ngumpet di mana?"

Pertanyaan yang terlontar dari mulutku sontak mengundang tawa Mas Abi. Pria yang kini selalu bersikap manis padaku itu mengangkat tangan, mengacak gemas puncak kepalaku.

"Mereka nggak ngumpet, Elena. Mereka daritadi emang ada di sini, di balik pohon besar itu." Mas Abi menunjuk ke arah jarum jam tiga, membuatku ikut menoleh.

Jarak antara pondok bambu dan pohon besar itu hanya terpaut sekitar delapan sampai sepuluh meter. Dan dari pandanganku, aku menangkap cahaya kekuning-kuningan yang  mungkin berasal dari lampu dan api yang mereka nyalakan.

Aku berdecak kagum. Jika persiapannya sematang ini, Mas Abi pasti sudah menyiapkan jauh-jauh hari. Tidak mungkin sehari langsung jadi. Eh, tapi kan Mas Abi sultan. Dia berduit, punya kuasa, bahkan jika menginginkam sesuatu yang nyaris mustahil pun pasti bisa dia lakukan.

"Kapan kamu nyiapin ini, Mas?" Kini aku berbalik, menghadap Mas Abi yang menatapku sembari tersenyum manis.

"Tadi pagi. Aku mikir, teror surat kemarin malam ngebuat kamu kepikiran terus. Jadi aku mutusin buat nyiapin ini."

"Kenapa kamu yakin kalau aku mau diajak ke sini? Bukannya kamu tau ya kalau aku agak sedikit sensitif sama kamu sebelum ini." Aku bersedekap dada, menatap Mas Abi dengan raut tegas dan berani. Aku ingin tahu, kenapa dia begitu yakin, padahal belum tentu aku mau diajak.

"Tapi kamu di sini, 'kan?"

Aku berdecak. "Itu karena kamu yang main tarik dan bawa aku ke sini!" Kalau bukan karena aku ketakutan, jelas aku pasti menolak keras ajakan Mas Abi untuk pergi keluar bersamanya. Apalagi jika mengingat kemesuman Mas Abi meningkat. Hih! Bisa-bisa aku---

Cup!

Bibir lembut Mas Abi mendarat mulus di bibirku. Sementara aku mendadak kehilangan suara dengan mata terbelalak karena terkejut atas tindakan yang dilakukan oleh Mas Abi.

Perlahan tapi pasti, Mas Abi mulai melumat bibirku hingga tanpa sadar aku terpejam menikmati sensasi menyenangkan sampai membuatku merasa melayang karenanya.

"Kamu berisik, Elena," ujar Mas Abi seraya mengambil napas. Dia lantas tersenyum miring, lalu mengambil jarak beberapa langkah ke belakang sebelum kembali menarik tanganku cepat hingga aku kehilangan keseimbangan dan berakhir terjatuh, menindih tubuh Mas Abi.

Aku tertegun melihat bibir Mas Abi yang masih basah bahkan sedikit memerah. Astaga! Fokus Elena, fokus! Dalam jarak sedekat dan seintim ini jelas berbahaya bagi keselamatan jiwa dan raga.

Baru saja aku ingin bangkit dari posisi tidak aman ini, tiba-tiba tangan kekar Mas Abi memeluk pinggangku hingga aku kembali terjatuh di atas dada bidangnya dan tidak bisa bergerak karena kukungannya.

"Mas ... lepas." Aku bergerak tidak nyaman, mencoba melepaskan diri dari Mas Abi. Namun, suara beratnya membuatku berhenti bergerak dan memilih diam menatap wajah Mas Abi.

"Sebentar saja, Elena. Saya benar-benar merasa lelah."

Benar saja. Kerutan di wajah Mas Abi terlihat samar. Entah apa saja yang dipikirkan oleh suamiku itu. Eh, tunggu dulu. Suami? Huh! Apa sekarang aku sudah menganggap Mas Abi suamiku? Entahlah.

Perlahan kuelus matanya yang terpejam, lalu beralih mengusap rahang tegas Mas Abi. Dan mata nakalku lagi-lagi menatap bibir Mas Abi yang sangat menggoda iman--astaga! Tahan, Elena, tahan. Kamu nggak boleh main nyosor meskipun ingin.

Ingat! Harga diri perempuan harus dijunjung tinggi--ah, peduli setan dengan harga diri. Hasrat dalam diriku lebih besar hingga aku tidak mampu untuk menahan.

Dengan kekuatan super cepat, aku mengecup bibir Mas Abi. Hanya mengecup tanpa melumat. Namun, sialnya hal itu berhasil membuat mata Mas Abi yang semula terpejam, menjadi terbuka lebar disertai dengan senyum tipis sebelum akhirnya Mas Abi menarik tengkukku dan kembali melumat bibirku dengan rakus seolah tidak ada hari esok.

Tidak hanya itu, kedua tangan Mas Abi bergerak liar, masuk ke dalam piama tidurku, mengusap lembut punggung, memberikan sengatan yang membuatku justru menuntut lebih. Namun ....

"Mas, tirainya--" Sial! Kenapa harus kalimat itu yang keluar dari mulutku, sih?!

Gegas saja Mas Abi menggulingkan tubuhku ke kasur, sementara dia beranjak menutup semua tirai pondok bambu dan mematikan lampu. Usai memastikan semua aman terkendali--demi menghindari hal yang tidak diinginkan--Mas Abi menatapku dengan mata berkabut penuh gairah.

Secepat kilat, Mas Abi menanggalkan kaos yang dia kenakan, dilemparkannya asal sebelum kembali memagut bibirku dengan ganas. Oh, shit! Aku menikmatinya. Sangat-sangat menikmati setiap sentuhan yang dibuat oleh Mas Abi. Bahkan aku dan Mas Abi tidak peduli dengan napas kami yang nyaris habis.

Apakah malam ini aku akan menjadi milik Mas Abi sepenuhnya? Ah, tidak-tidak. Apakah malam ini akan menjadi malam pertama pernikahan setelah enam bulan berlalu?

AISH! CLARA! TOLONG TUTUP MATA DAN TELINGAMU!

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

TBC ....

BERGETARRRR HAYATIIII😭😭😭

Gatau lagi deh gimana feelnya sama bab ini. Panas dingin aku nulisnya.🤣🤣 Maklumlah, aku belum pro di bidang ini🤣🤣

Dahlah, see u aja deh

Luv, Zea♡

Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang