Berbekal dari ingatanku, ya meskipun rada-rada lupa sedikit di mana letak restoran milik Delima, aku menghentikan mobil tepat di depan restoran bintang lima kepunyaan wanita yang berstatus sebagai istri Alan itu.
Tidak banyak yang ingin kulakukan di sini. Hanya ada beberapa hal yang perlu kupastikan sendiri. Sebenarnya aku bisa saja meminta Elena mendatangi Delima, tapi hatiku tidak yakin jika wanita itu mampu menjalankan tugas dengan baik. Apalagi jika berurusan dengan Delima.
Mungkin rencanaku tidak akan berjalan mulus atau bahkan gagal jika Elena yang melakukannya.
Dan di sinilah aku, berdiri di depan kasir, mencoba bersabar menunggu antrian demi menanyakan keberadaan bos mereka. Hingga menunggu sekitar lima menit, barulah tiba giliranku.
Dengan senyum manis yang terpatri di bibir tipisku, aku bertanya, "Di mana Delima? Bos kalian."
Bukannya menjawab, dua penjaga kasir itu malah saling senggol kanan senggol kiri, membuat aku memutar bola mata malas. Mereka ini kenapa, sih? Padahal aku hanya menanyakan keberadaan bos mereka. Bukan minta uang mereka. Eh, mereka malah menunjukkan atraksi senggol-senggolan.
Astaga! Aku melupakan sesuatu!
Elena dan citra buruknya tentu tidak bisa dipisahkan. Mereka pasti mengira aku akan bertindak macam-macam, eum ... seperti menyakiti mereka, memukul mereka mungkin? Aish! Aku bahkan lupa bagian ini. Bagian di mana Elena sering berlaku kasar pada orang-orang yang berhubungan dengan Delima.
Itulah alasan mengapa aku tidak percaya jika Elena yang melakukan misi ini. Pasti dia akan membuat kekacauan karena obsesi gilanya itu. Tapi kan yang memakai raga ini bukan Elena, melainkan aku, Clara.
Dan yang perlu aku lakukan adalah tersenyum, memperbaiki citra Elena di depan mereka. Di depan pendukung protagonis.
"Bos kalian nggak ada, ya?" Aku tersenyum seramah mungkin. "Kalau gitu, saya titip pesan. Tolong bilangin sama Delima, ada hal penting yang ingin saya bahas." Setelahnya aku berbalik, berniat beranjak pergi. Namun, salah satu dari mereka menghentikan langkahku dan berhasil membuat tubuhku berputar seratus delapan puluh derajat.
"Bu Delima ada di ruangannya." Wanita berambut sebahu itu menunduk, lalu kembali berujar, "Sama Pak Alan."
Ah, jadi ini penyebab utamanya. Baiklah, Clara. Kamu harus menunjukkan kalau Elena sudah berubah. Dan Elena yang sekarang sudah tidak lagi mencintai suami orang.
Berdehem sebentar, aku menatap dua perempuan yang masih setia menunduk. Entahlah, mungkin aura Elena benar-benar menakutkan di mata mereka.
"Pas banget kalau gitu." Sekali lagi aku mengumbar senyum semanis madu. Duh, lama-lama bisa diabetes mereka liat senyuman manisku terus. "Bisa panggilin mereka? Bilang Elena mau bicara sama mereka." Astaga! Aktingku bagus sekali. Aku yakin, jika Pak Sutradara melihat kemampuan aktingku yang natural, pas aku akan diajak main film. Oke lupakan khayalan seorang penulis yang absurd ini.
"Bi-bisa, Bu. Mari ikut saya." Kali ini si ranbut panjang yang dikuncir kuda berbicara. Dia menggiringku memasuki restoran lebih dalam lagi, hingga kami tiba di depan pintu bercat cokelat. Perempuan itu tersenyum kikuk. "Tunggu sebentar, Bu."
Aku mengangguk, membiarkan si rambut kuda mengetuk pintu sebanyak tiga kali sebelum akhirnya membuka setelah mendapatkan izin dari sang empunya ruangan.
"Maaf, Bu, Pak, mengganggu waktu kalian. Di luar ada Bu Elena. Katanya mau bicara dengan kalian." Aku menarik dua sudut bibir, tersenyum tipis sembari membayangkan ekspresi Alan ketika mendengar pegawai mereka menyampaikan, aku ingin berbicara. Ah, kira-kira apa yang dipikirkan pria itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)
RomanceDari sekian banyak kesialan di dunia ini, kenapa Clara Abimana harus memasuki dunia novel buatannya sendiri? Bagus jika ia menjadi pemeran utama yang dilimpahi kasih sayang serta keromantisan sang suami, Clara akan sangat bersenang hati menerima tak...