Sudah satu bulan berlalu sejak hubungan Abigail dan Elena membaik. Namun, belum ada satu pun tanda-tanda pelaku teror akan terungkap. Haish! Kalau boleh jujur aku capek, pengen pulang biar bisa uwu-uwuan juga sama suami macam Elena.
Bicara soal suami ... ngomong-ngomong bagaimana, ya, wajah suamiku? Apakah ganteng macam Abigail? Manis macam Alan? Atau perpaduan antara keduanya?
Andai saja waktu itu aku tidak marah pada ibu dan menerima pernikahan dengan ikhlas, mungkin aku tahu bagaimana rupa suamiku, eng ... Arvan? Entahlah. Namanya saja hanya kubaca sekilas.
"Gimana, ya, keadaan ibu?"
Sedikit banyaknya, aku merasa menyesal karena sudah bersikap kurang ajar pada wanita yang sudah mengorbankan banyak hal untukku. Ya, tapi mau bagaimana lagi? Nasi sudah jadi bubur. Waktu tidak akan terulang kembali, hingga tersisa rasa sesal yang mempu mengoyak hati.
Hari ini, aku sengaja memakai raga Elena untuk memancing keberadaan dalang di balik teror menyeramkan itu. Ya, gimana, ya, kalau menunggu Elena bergerak rasanya kayak nunggu Ratu Salome hamil. Lama. Jadilah kuputuskan untuk bergerak sendiri dulu, baru nanti Elena yang melanjutkan.
BRAK!
Pintu kamar terbuka lebar, menampilkan Abigail dengan penampilan yang--aish! Sangat berantakan. Peluh yang masih menetes, kancing atas kemeja terbuka, dan rambutnya yang sudah bisa disebut sapu rusak.
"Elena? Kenapa? Apa yang terjadi? Maaf, tadi lama ngangkat telepon. Soalnya aku ada rapat penting siang ini." Abigail dengan napas ngos-ngosan berjalan mendekat ke arahku.
Ah, begitu rupanya. Abigail khawatir sama istrinya. Uhhh, manis sekali. Tapi, haruskah aku yang menghadapi situasi ini? Hedeh! Bagaimana nanti kalau Abigail main nyosor seperti kebiasaanya akhir-akhir ini dengan Elena. Wah! Bahaya.
"Ya, ampun, Mas. Maaf, bukan bermaksud buat kamu khawatir, tapi ... aku mau makan rujak pedes." Aku mengigit bibir dalam, berharap Abigail tidak marah dengan alasan yang, yah ... terbilang konyol padahal aku bisa saja memesan lewat ojol atau apa pun itu.
Tapi selagi ada yang sulit, ngapain cari yang mudah?
Namun, bukan soal pesanan dan memesan pada siapa. Tujuanku meminta rujak, yang hanya di jual di dekat taman bermain Asri, tidak kurang tidak lebih hanya untuk mengumbar kemesraan dengan suami. Karena aku yakin, pelaku teror itu pasti selalu mengikuti kegiatan Elena di luar rumah. Dan ketika dia melihat kemesraan, atau kalau perlu mendengar apa yang kami rencanakan, dia pasti akan mengambil tindakan.
Ya, bukannya aku rindu pada teror gila yang sudah lama tidak didapatkan Elena. Hanya saja, aku merasa dia sedang menyiapkan sesuatu yang akan menyebabkan hal tidak mengenakkan. Makanya, aku memutuskan untuk melakukan ini agar si dalang mempercepat rencananya.
Dan akan kupastikan, apa pun rencananya, pasti bisa kugagalkan.
"Rujak?" Abigail membeo. Duh, Bi, anggap aja ini kemauan baby kalian. Ah, benar juga! Kenapa aku tidak memakai alasan mengidam?
Berdehem pelan, aku menatap Abigail penuh harap. "Eng ... iya, Mas. Mau rujak yang ada di dekat taman Asri itu, lho." Aku pura-pura menunjukkan wajah sedih. "Nggak tau, ya. Aku juga nggak paham kenapa tiba-tiba pengen itu. Dan dengan nggak tau dirinya aku ganggu waktu kerja kam--"
"Sssttt! Udah, aku nggak masalah, kok." Wajah Abigail berubah menjadi cerah. Air mukanya menunjukkan sesuatu yang kuharapkan. Seperti; Abigail berpikir kalau istrinya sedang hamil. "Aku mandi bentar dulu, ya. Kamu tunggu di sini."
Abigail meninggalkan kecupan di kening, sebelum beranjak menuju kamar mandi. Ah, aku jadi tidak sabar menanti teror apa yang akan kuperoleh nanti.
***
Suasana ramai menyambut kedatanganku dan Abigail. Dengan senyuman yang tidak luntur sejak turun dari mobil, aku berjalan tergesa mendatangi gerobak penjual rujak yang tengah ramai pembeli.
Duh, melihat buah-buah segar seperti mangga muda, nanas, pepaya, gedondong yang berada dalam kaca tempat penyimpanan, membuat air liurku nyaris menetes. Astaga! Aku pengen borong mangga mudanya yang amat sangat menggugah selera.
"Mang, pesen rujak yang isinya mangga muda semua lima mika, ya. Terus bikinin yang buahnya nyampur buat makan di sini satu," pintaku pada Kang Rujak.
"Iya, sebentar, ya. Mbak sama Masnya duduk dulu aja," sahutnya seraya menunjuk kursi plastik yang berada tidak jauh dari gerobaknya.
Aku mengangguk semangat, kemudian menarik Abigail untuk mengikuti. Namun, kursi plastik milik Kang Rujak tersisa satu. Hal itu membuat ide gila muncul di benak. Persetan dengan pemikiran orang-orang. Aku hanya ingin sesegera mungkin mengungkap dalang teror itu. Apa pun dan bagaimanapun risikonya.
"Mas, duduk!" titahku membuat kening Abigail berkerut.
"Kamu aja yang duduk. Biar aku yang berdiri." Abigail menolak keinginanku. Hais! Ini laki emang nggak peka sama apa yang mau kulakukan. Baiklah, jika Abigail tidak bisa diminta duduk secara baik-baik, maka aku akan memaksanya!
"Mas, duduk kubilang!" Kali ini aku berseru lantang, hingga membuat atensi orang-orang yang berada di sekitar menatap ke arah aku dan Abigail. Bagus.
Mengembuskan napas berat, Abigail duduk dengan malas. Aku tahu, dia tidak ingin membiarkan istrinya lelah karena berdiri sembari menunggu pesanan tiba. Namun, ada sesuatu yang sangat ingin kulakukan agar orang yang mungkin saat ini tengah memerhatikan gerak-gerikku dan Abigail merasa panas dan terpancing emosi hingga bertindak gegabah.
Dengan senyum manis yang menghiasi bibir, aku duduk di atas pangkuan Abigail, lantas mengambil tangan laki-laki itu, menggiringnya untuk memeluk pinggangku.
"Duduk begini lebih nyaman. Pantatku nggak bakalan sakit." Aku tertawa pelan ketika mendapati telinga Abigail yang memerah. Astaga! Apa dia sekarang sedang salah tingkah? Duh, indahnya menggoda suami orang.
"Heh! Jaga, ya. Jangan macam-macam sama Mas abi."
Nah, loh, singa betina yang ada di dalam diri Elena mau ngamuk. Bahaya kalau dia marah. Bisa-bisa aku babak belur karena dihajar olehnya. Hih! Amit-amit! Bukannya pulang ke dunia asal, aku justru mampir ke kuburan.
"Manja banget, sih. Nggak kayak biasanya." Abigail mengangkat tubuhku, memutar posisi duduk hingga berhadapan dengannya. Bagus, Abigail melancarkan rencanaku. Dengan posisi seperti ini, orang-orang akan mengambil spekulasi tentang hubungan kami.
"Nggak apa-apa, lagi kangen aja." Aku terkekeh pelan, lalu menyatukan keningku dengan Abigail sembari mencuri dengar bisik-bisik orang yang melihat kemesraan kami. "Oh, iya, Mas. Besok bawa aku ke tempat favorit kita, ya." Sengaja aku berbicara kencang agar orang-orang mendengar.
"Iya, Sayang." Mas Abi mencubit hidungku gemas, membuat aku mencebik lalu memeluknya. Hais! Andai bukan karena terpaksa, aku tidak akan melakukan hal gila ini di depan umum.
Semua komentar yang keluar dari mulut mereka berdampak keirian yang membuat aku tertawa dalam diam. Ah, pasti mereka mau punya suami macam Abigail yang penyayang, perhatian, dan sultan.
Setelah puas memancing keributan, aku mendongkak, mentap sekeliling. Sesuai prediksi orang-orang sedang melihat ke arah kami. Namun, bukan itu yang menjadi fokusku saat ini, melainkan sosok yang sangat kukenali sedang berbicara dengan dua orang laki-laki. Dari raut wajahnya, aku yakin ini adalah pembahasan yang serius. Hingga tak lama kemudian, orang yang kukenali itu memberikan sejumlah uang pada mereka sebelum akhirnya berbalik ke arah mobil.
Mama? Ngapain mama kasih mereka uang?
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
Tbc ....
Hayoloh🤣🤣🤣 mama siapa tu🤣
Duhhhh aku deg2an geng. Ga sabar pemgen ngungkap dalang sebenarnya.Oia, doain ya semoga hari ini aku kekejar🤣🤣🤣 ketar ketir ni geng dikejar deadline.
See u aja deh.
Luv, Zea♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)
RomanceDari sekian banyak kesialan di dunia ini, kenapa Clara Abimana harus memasuki dunia novel buatannya sendiri? Bagus jika ia menjadi pemeran utama yang dilimpahi kasih sayang serta keromantisan sang suami, Clara akan sangat bersenang hati menerima tak...