Dua Sembilan

3.3K 342 5
                                    

Setelah tiga hari dirawat--entah dapat kekuatan darimana--aku langsung bisa berjalan tanpa bantuan, bahkan aku sudah dibolehkan pulang oleh dokter. Kata mereka ini keajaiban. Bagiku, ini biasa saja. Ya gimana nggak biasa saja coba? Orang aku sehat alfiyat di dunia novel, lari bisa, jalan bisa, tidur cukup, makan teratur. Jadi, sembuh dengan cepat adalah hal yang wajar karena sebenarnya aku baik-baik saja selain mendapatkan luka tembak. Itupun bukan aku yang terkena melainkan Elena.

Ngomong-ngomong soal Elena, aku jadi rindu padanya. Ya, meskipun dia adalah salah satu tokoh fiksi yang kuciptakan, tapi bagiku Elena adalah manusia bernyawa, manusia yang memiliki perasaan sama seperti aku.

Andai saja ada Elena versi dunia nyata, aku mungkin tidak akan segan menjadikannya sahabat. Berbagi dalam segala hal kecuali suami. Iya, suami. Ya kali aku bagi-bagi Mas Arvan. Enak saja! Bahkan ibu pun tidak akan kubiarkan mengambil Mas Arvan dariku.

Mengingat Mas Arvan adalah Mas Dipta, laki-laki yang selalu kutunggu kedatangannya, laki-laki yang bahkan tanpa sadar selalu memenuhi pikiran, kini telah resmi menjadi suamiku, suami yang sangat-sangat mencintaiku.

Dan saat ini, suamiku itu sedang merajuk.

Iya, merajuk karena hal sepele bagiku.

Ya, gimana, ya? Masa iya Mas Arvan marah hanya karena aku bilang aku lebih sayang sama novel beserta tokoh-tokoh yang kuciptakan dibanding dia? Dan sekarang, Mas Arvan sedang memasukkan bajuku ke dalam koper besar miliknya.

"Saya tau saya ganteng, tapi nggak usah dilihatin segitunya juga," ucap Mas Arvan tanpa mengalihkan pandangan ke arahku, dia hanya fokus dengan baju-baju yang ada di tangannya.

"GR! Siapa juga yang liatin kamu. Orang aku daritadi liatin cicak-cicak di dinding." Aku menyahut dengan suara sedikit ditinggikan, membuat Mas Arvan mendesah berat. Pria yang mengenakan kaos oblong itu berjalan mendekat ke arahku.

Sementara aku berusaha tetap tenang saat Mas Arvan menatapku intens. Astaga, ini yang namanya stay cool walau di dalam hati ketar-ketir!

"Kalau ngomong jangan pakai nada tinggi bisa? Saya nggak suka."

Aku meneguk saliva susah payah. Astaga, sepertinya Mas Arvan benar-benar marah. Iya aku tahu dia tidak suka jika mendengar aku berbicara kurang sopan pada ibu atau padanya. Tapi gimana, ya? Kalau nggak kayak gitu bukan aku namanya. Bahkan sejak kami masih kecil pun Mas Arvan sering menegurku jika bicara kasar pada ibu.

"Kalau nggak suka nggak usah didengerin." Aku menyahut asal, membuat Mas Arvan  semakin menatapku tajam. Demi apa pun, aku merasa takut oleh tatapannya. Namun, aku berani bertaruh kalau Mas Arvan tidak akan menyakitiku walau seujung kuku.

Iya, awalnya aku memang yakin kalau Mas Arvan tidak akan menyakitiku. Namun, ketika pria itu terus mengikis jarak antara kami, membuatku merasa was-was dan tanpa sadar memundurkan langkah hingga kakiku menubruk ranjang.

Sial! Aku bahkan tidak bisa mundur lagi kecuali naik ke atas ranjang dan lari. Namun, hal itu hanya bisa berada dalam angan saja sebab Mas Arvan lebih dulu merangkul pinggangku, mengukung dalam dekapan.

"Saya pikir, setelah bangun dari koma, kamu berubah menjadi lebih baik. Nggak ngomong kasar sama ibu atau sama suami kamu. Tapi ternyata, pikiran saya salah. Dari dulu, kamu emang nggak bisa berubah, Clara," ujar Mas Arvan yang entah mengapa membuat hatiku terasa begitu nyeri. Rasanya seperti ditusuk belati berkali-kali hingga aku merasa seperti akan mati.

Namun, dengan segera kututupi rasa sakit itu dengan tertawa hambar. Aku menatap Mas Arvan dengan tatapan kecewa. Sumpah demi apa pun, aku tidak mengerti mengapa Mas Arvan bersikap seperti ini.

"Bahkan sampai aku mati pun, sikapku ini nggak akan pernah berubah, Mas."

Sial! Aku merasa air bening keluar dari sudut mataku. Dengan cepat aku segera menghapusnya, aku tidak ingin terlihat lemah di depan Mas Arvan. Namun, rasa sesak yang menghimpit dada benar-benar membuatku tersiksa.

Aku tidak tahan lagi!

"Mas Dipta jangan buat aku takut!" teriakku sembari menangis. Bahuku bergetar hebat sementara kedua tangan kugunakan untuk menutupi wajah yang mulai sembab.

Di luar dugaan, Mas Arvan justru terbahak. Ia lantas mendekapku hangat seraya mengucapkan kata maaf berulang. Astaga, apa tadi Mas Arvan hanya bercanda?

"Jadi kamu sudah tau siapa saya, hm?" Mas Arvan menangkup pipiku yang basah setelah menyingkirkan dua tanganku dari wajah. Dengan lembut dia mengusap air mata yang membasahi pipi. "Sayang, kamu tau saya nggak akan pernah bisa nyakitin kamu, 'kan? Dipta yang kamu kenal nggak akan tega ngelakuin itu."

Aku mengangguk sesaat, lalu kemudian menggeleng tegas. Aku melepaskan rangkulan Mas Arvan sembari menatapnya tajam.

"Tapi kamu tadi nyakitin hati aku, Mas!"

Mas Arvan terkekeh, ia lantas memajukan wajah, mengecup bibirku sekilas. "Itu hukuman buat mulut kamu yang tadi ngomong kasar."

Aku terbelalak kaget mendapat serangan tiba-tiba dari Mas Arvan. Sedangkan jantungku? Jangan ditanya! Sudah pasti senam SKJ di dalam sana. Aku bahkan merasakan kakiku lembek seperti jelly.

"M-Mas ... ayo--"

"Ayo apa, hm? Mau lanjut ciuman ke tahap selanjutnya?" Mas Arvan mengerling jahil sembari menaik turunkan alianya. Astaga! Sebenarnya apa yang terjadi dengan otak Mas Arvan? Setahuku, dia tidak mesum seperti ini sewaktu masih kecil.

Mas Dipta alias Mas Arvananda Putra Wijaya Pradipta selalu menjaga jarak aman denganku. Dia menjagaku layaknya menjaga berlian yang berharga. Hingga aku tidak bisa melepaskannya begitu saja bahkan ketika harapanku mulai pupus, berharap Mas Arvan memenuhi janji untuk menemui kembali, hatiku tetap menyimpan cinta untuknya.

"Mesum! Udah ah, Mas. Ayo siap-siap. Nanti ketinggalan pesawat malah ketunda lagi pulangnya."

Lagi Mas Arvan hanya terkekeh menanggapi, pria itu lantas kembali mengambil ciuman singkat pada benda kenyal kemerah-merahan milikku.

"Bentar, ya, Sayang. Baju kamu belum selesai aku beresin." Mas Arvan kembali mengemas baju-baju yang sudah kukelatakkan di ranjang. Padahal tadinya aku berniat menata sendiri, tapi karena kebiasaanku yang berberes sembari memainkan ponsel, Mas Arvan mengambil alih tugasku demi mempercepat waktu.

Duh, Mas Arvan memang manusia paling peka meskipun sangat menyebalkan, dan ... manis. Uhhh! Aku ingin segera pulang ke Jakarta lalu menyiapkan pesta pernikahan kami yang ada mempelai wanitanya, ada aku agar acara sakral sekali seumur hidup ini melukis kenangan manis di benakku.

Sedang asik senyum-senyum membayangkan hal-hal yang akan kami lakukan nanti setelah pulang ke Jakarta, tiba-tiba Mas Arvan berdiri. Ia menatapku dengan tatapan terkejut sebelum berujar, "Sayang ... kamu datang bulan?"

HAH?!

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

TBC ....

AYEEE MAAP BANGED NI BARU UPDATE🤣🤣🤣 AKHIR2 INI SELALU DISURUH LEMBUR BAGAI QUDHA!

Btw, aku ganiat kepslok🤣 ya udhlah, rencananya aku mau endingin ini di bab 30, tapi entahlah. Liat nanti karena jujur, ini cerita ga pake outline rinci🤣 aku hanya mengandalkan premis dan sinop serta bantuan pembimbing yang selalu ngasih saran dan kasih pendapat waktu aku bingung.

Udah deh, see u ajalah.

Luv, Zea♡

Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang