Elena's PoV
"JAUHI ABIGAIL KALAU KAMU MAU SELAMAT!"
Tulisan dengan tinta merah yang dipenuhi bercak darah membuatku spontan menutup mulut. Orang kurang kerjaan mana yang mengancamku seperti ini? Astaga! Dia pikir seorang Elena akan takut hanya ancaman sepele ini? Jawabannya tentu tidak!
"Mengganggu." Aku menggumpal kertas itu dan nyaris membuangnya jika saja Mas Abi tidak menahan pergerakan lenganku. Pria itu mengambil gumpalan kertas di tanganku, lalu membukanya.
Dapat dilihat kerutan di kening Mas Abi, menandakan pria itu tengah berpikir. Dia menatapku sesaat sebelum berkata, "Jangan dibuang. Sewaktu-waktu kertas ini pasti berguna." Mas Abi masuk lebih dulu, meninggalkanku yang masih berusaha mencerna ucapannya.
Jadi maksud Mas Abi teror itu bukan hanya sekadar iseng? Tapi ... siapa yang meneror? Dan untuk apa?
Selama enam bulan menikah dengan Mas Abi, tidak pernah sekalipun aku mendapatkan larangan, ancaman, apalagi teror yang sempat kuanggap hanya kerjaan orang iseng saja. Atau ...
"Mas Abi punya wanita simpanan? Atau selingkuhan?"
Mendengar pertanyaan yang begitu saja lolos dari mulutku membuat Mas Abi menatapku tidak suka. Hei! Ada apa? Wajar kan aku bertanya begitu. Selama ini belum ada orang yang berani mengancam aku yang notabane istri sah Mas Abi untuk menjauhinya. Lalu tiba-tiba, ada orang yang menerorku, meminta untuk menjauhi Mas Abi. Istri mana yang tidak berpikir kalau yang melakukan hal mengganggu itu adalah wanita simpanan suaminya?
"Nggak usah ngelantur. Kamu tau, saya tipikal orang setia."
Nye, nye, nye! Mulutku mencibir. Entah kenapa aku kesal ketika membayangkan Mas Abi sungguh memiliki wanita simpanan. Argh! Aku tidak suka jika apa yang kuucapkan itu benar, meskipun Mas Abi berkata tidak. Haish! Ada apa denganku?
"Udahlah, Mas. Aku ngantuk." Tanpa menutup pintu balkon, aku menghempaskan tubuh ke kasur. Ahhh, nikmatnya! Namun, suara menyebalkan Mas Abi lagi-lagi mengganggu ketenanganku.
"Kenapa pintunya nggak ditutup?" Mas Abi yang lebih dulu duduk di ranjang berdecak, lantas pria itu berdiri dan membawa langkah menutup pintu balkon. Sementara aku tersemyum penuh kemenangan karena berhasil membuat dia kesal.
"Lupa." Aku menyahut asal. Kupikir Mas Abi akan mendebat lagi, atau mencari masalah baru agar aku tidak bisa melanjutkan mimpi indahku. Namun, nyatanya aku salah! Memang mulut nyinyir Mas Abi bungkam, tidak membuat darah tinggiku kumat.
TAPI KALAU MAS ABI MEMELUK TUBUHKU SEPERTI INI JUSTRU MEMBUATKU TERJAGA SEPANJANG MALAM!
"Mas! Lepasin! Aku mau tidur. Kenapa peluk-peluk, sih?!" Sungguh, aku dibuat mati kutu sama Mas Abi. Lihat saja lengan kekarnya yang melingkar di tubuh serta kaki yang menindih pahaku, membuat aku sulit untuk melepaskan diri.
"Diam, Elena. Jangan banyak gerak. Bahaya." Mas Abi berkata tenang dengan mata terpejam. Sementara aku? Jangan ditanya! Sudah pasti aku bergerak seperti cacing kepanasan agar bisa melepaskan diri dari Mas Abi. Namun, suara serak Mas Abi berhasil menghentikan pergerakanku.
"Elena, kalau kamu masih bergerak, saya tidak yakin kalau malam ini kamu masih perawan."
MAS ABI SIALAN!
Demi keperawananku yang nggak tahu sampai kapan, aku memilih diam seperti patung. Bahkan bernapas pun harus sangat berhati-hati jika tidak ingin terjadi sesuatu di luar kendali. Hih! Membayangkannya saja membuat bulu kudukku berdiri.
Perlahan aku menggerakkan kepala, menoleh ke arah Mas Abi yang hanya berjarak kurang lebih sepuluh senti meter. Napas Mas Abi yang mulai teratur membelai lembut wajahku. Biar kutebak, Mas Abi sekarang pasti sudah tertidur.
"Awas nanti jatuh cinta~" Suara menyebalkan Clara membuatku memutar bola mata. Apa tadi katanya? Jatuh cinta? Tidak akan! Aku nggak akan jatuh cinta sama Mas Abi yang nyebelin ini.
"Yakin nggak akan jatuh cinta sama suami tampan kamu itu?" Clara terkikik. "Gengsinya turunin, dikit, Mbak. Nanti nyesel, lho."
"Nyesel gimana? Lagian, buat apa aku jatuh cinta sama Mas Abi?" Mas Abi itu nyebelin, mulutnya kayak cabe level mampus, sikapnya yang arogan bikin aku pengen nampol mukanya terus. Nggak ada sisi positifnya.
"Nyebelin-nyebelin gitu juga dia perhatian sama kamu, El."
"Perhatian? Itu karena terpaksa!" Mana ada Mas Abi berniat perhatian padaku. Kalau bukan karena terpaksa--sebab aku membandingkannya dengan Mas Alan--Mas Abi nggak bakalan mau bersikap manis. Aku berani bertaruh, sampai lebaran monyet berlalu pun, Mas Abi tetap akan bersikap menyebalkan.
Aku jadi penasaran, apa suami Clara juga sama menyebalkannya dengan Mas Abi. Eh, tunggu dulu, memangnya Clara sudah menikah?
"Ngomong-ngomong, kamu udah punya suami, Ra? Gimana suami kamu? Nyebelin kayak Mas Abi juga nggak?"
Clara diam, wanita itu tidak menyahut beberapa saat sebelum akhirnya dia berujar, "Suami, ya? Punya, kok. Tapi ... aku nggak tau dia gimana."
Keningku berkerut mendengar jawaban Clara. Nggak tau bagaimana? Lucu sekali.
"Ngelawak, ya? Mana ada istri yang nggak tau suaminya gimana. Emang kamu nggak pernah liat dia? Bukannya sewaktu ijab kalian bersanding, ya?"
Entah apa yang lucu dari ucapanku, tapi Clara justru tertawa. Namun, bukan tawa bahagia atau semacamnya yang kutangkap, melainkan tawa sumbang. Tawa yang menurutku sarat akan kekesalan dan kekecewaan.
"Ibuku menikahkan aku dengan pria yang nggak kukenali, Elena. Dan waktu itu, aku nggak ada sewaktu ijab. Bahkan sampai sekarang, aku nggak tau muka suamiku gimana. Gantengkah? Jelekkah? Aku nggak tau."
Ternyata, kisah hidupku dan Clara tidak jauh berbeda. Aku dipaksa menikah dengan anak pengusaha kaya demi menjalin kerja sama baik. Sementara Clara, menikah tanpa persetujuan dan kehadiran dirinya. Astaga, menyedihkan sekali.
"Memang menyedihkan." Clara membenarkan. "Tapi lebih menyedihkan lagi kalau kamu masih mencintai Alan. Elena, kamu tau kan? Mencintai Alan itu penuh resiko. Kamu mati dan aku akan terjebak selamanya di sini. Karena sedari awal, misiku adalah menyelamatkan kamu. Kalau aku gagal, maka aku nggak akan bisa pulang."
Sedikit banyaknya, aku merasa kasihan pada Clara. Meskipun wanita itu lebih sering membuatku kesal, tetap saja sisi kemanusianku tersentil melihat perjuangan dia.
Clara berada di tempat ini karena ditarik oleh seseorang yang entah siapa, memintanya untuk membantuku agar tidak mengalami akhir yang tragis.
"Demi kamu, dan demi sisi kemanusian. Aku bakal berusaha semaksimal mungkin buat nggak berhubungan sama Mas Alan, dan mencoba menjalin hubungan baik dengan Mas Abi. Ingat, ya, Clara. Demi kami dan sisi kemanusianku."
"Kalau begitu, blokir semua nomor Alan. Hapus dan hilangkan semua hal yang berhubungan dengan Alan. Dengan begitu, kamu akan bisa melupakan Alan dan mulai menerima Abigail."
Semoga. Dan aku berharap, apa yang kami rencanakan berhasil.
"Tapi bagaimana caranya buat ngilangin sikap nyebelin Mas Abi, Ra?" Astaga! Nyaris saja aku melupakan hal penting itu. Bagaimana bisa aku melupakan Alan dan mulai menerima Mas Abi jika sikap pria itu selalu membuatku kesal?
"Elena? Kamu bicara sama siapa?"
MAMPUS! Mas Abi bangun!
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
Tbc...
Di sini belum terjawab, kenapa ada orang iseng kuker neror Elena. Jadi, nikamti aja ya alurnya. Aku mau ngajak kalian nyantai bentar kek di pantai dulu🤣🤣🤣 habis itu baru ngajak kalian senam otak dan jantung.
Gimana sama bab ini?🤣 baper ga? Hahaha
Jujurly geng, aku baper nulis adegan Elena dipeluk Abi. Uhhh, rasanya aku gabisa berenti senyum2 karena baper tingkat akutdh!
See u aja deh. Doain yaaa, naskah ini selesai tepat waktu.
With luv, Zea♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)
RomanceDari sekian banyak kesialan di dunia ini, kenapa Clara Abimana harus memasuki dunia novel buatannya sendiri? Bagus jika ia menjadi pemeran utama yang dilimpahi kasih sayang serta keromantisan sang suami, Clara akan sangat bersenang hati menerima tak...